Suatu pagi yang biasa di Istanbul, Yudis membuka ponselnya seperti rutinitas biasa: memeriksa laporan pemasukan restoran, jadwal pelatihan marketing digital, dan pesan-pesan dari para mahasiswa. Tak ada yang istimewa—hingga sebuah nama muncul paling atas:
Bu Najwa.
Pesan yang singkat. Tapi cukup membuat degup jantung Yudis berubah ritmenya.
Assalamu’alaikum, Nak.
Samiya sekarang sudah mulai SMA. Seperti biasa dia pendiam, banyak membaca, dan… masih ingat Mas yang dari Turki.
Dia tidak banyak bicara, tapi saya tahu.
Kalau kamu masih punya niat baik itu, kami tidak menutup pintu. Tapi kami juga tidak menunggu.
Kami serahkan semuanya pada Allah dan waktu.
Hening dan Tunduk
Yudis menatap layar ponsel itu lama. Ia duduk di ruang belakang restorannya, tempat biasa ia menulis jurnal pribadi atau menenangkan diri setelah seharian penuh aktivitas.
Ia tak langsung membalas.
Sebaliknya, ia berwudhu dan melaksanakan dua rakaat shalat sunnah. Lalu ia duduk menghadap jendela, menatap pohon zaitun yang tertanam di pot tua pemberian Elif.
“Ya Allah…” bisiknya.
“Jika ini kabar dari-Mu, tenangkan hatiku.
Jangan biarkan aku melangkah hanya karena ingin menang,
tapi bimbing aku agar melangkah karena Engkau yang memanggil.”
Sahabat yang Menyambut Kabar
Beberapa jam kemudian, ia mengajak Iskandar, Kamil, Rizki, dan Randito makan malam sederhana di rooftop restoran.
“Ada kabar dari Jeddah,” kata Yudis membuka percakapan.
Semua menoleh.
“Samiya sekarang sudah SMA. Ibunya menyampaikan… isyarat yang… terbuka tapi elegan. Mereka tidak menunggu, tapi mereka tidak menutup.”
Kamil mengangguk. “Itu cara Allah mengembalikan arahmu, setelah melewati godaan dari kanan dan kiri.”
Randito menimpali, “Tapi jangan buru-buru. Cinta bukan lomba kecepatan.”
Rizki tersenyum. “Tapi ini saatnya kamu kembali serius menyusun langkah.”
Jawaban Yudis: Satu Kalimat, Tapi Dalam
Yudis malam itu membalas pesan Bu Najwa:
Wa’alaikumussalam, Bu.
Terima kasih atas kabar ini.
Insya Allah saya tidak pernah menutup hati saya untuk niat yang baik.
Dan selama Allah masih menjaga niat ini di dada saya, saya akan tetap bersiap—bukan menunggu, tapi membangun.
Bukan diam, tapi memperbaiki diri.
Salam hormat dan doa terbaik saya untuk Samiya.
Sujud yang Paling Panjang
Malam itu, Yudis sujud lebih lama dari biasanya. Tak banyak kata dalam doanya. Tak banyak air mata juga. Tapi ada satu rasa yang begitu dalam—syukur yang lirih. Bukan karena ada sinyal-sinyal Samiya sudah bisa ia miliki. Tapi karena hatinya yang selama ini terombang-ambing, mulai kembali menemukan satu arah.
Dan hari-hari setelah itu berjalan lebih damai.
Yudis tak lagi bimbang. Ia tahu siapa yang ia tunggu,
dan siapa yang sudah ia lepas dengan lapang.
Ia tak meminta Samiya datang cepat,
tapi ia meminta kepada Allah, agar saat pintu itu dibuka,
ia adalah lelaki yang sudah layak berdiri di depan pintu itu.