Musim Haji Pasca Pandemi – Arafah, Makkah
Musim haji pertama setelah pandemi adalah musim haji yang penuh air mata. Bukan karena jumlah jamaah yang sedikit, tapi karena rasa syukur yang membuncah dari jutaan hati yang selama ini tertahan. Kota Makkah kembali bernyawa, meski dengan protokol dan pembatasan yang masih terasa.
Di tengah lautan manusia itu, hadir lima sahabat yang kini sudah bukan hanya sahabat, tapi rekan sejiwa dalam perjuangan dakwah dan bisnis: Iskandar, Kamil, Yudis, Rizki, dan Randito.
Kini mereka tidak hanya menjadi pelayan tamu Allah, tapi juga pembimbing generasi muda melalui program yang mereka gagas sendiri:
Manasik Cinta: Spiritual Leadership Camp untuk Kaum Muda
Program ini adalah perpaduan antara manasik haji, mentoring jiwa, dan refleksi kehidupan. Bukan hanya rukun ibadah yang diajarkan, tapi juga latihan mencintai tanpa tergesa, memimpin diri sendiri, dan menghadapi takdir dengan lapang dada.
Perusahaan, Apartemen, dan Perjalanan Jiwa
Apartemen 6 lantai di kawasan Aziziyah, yang mereka sewa sebagai markas operasional perusahaan, menjadi pusat seluruh aktivitas program. Lokasinya strategis, tidak terlalu jauh dari Masjidil Haram, namun cukup tenang untuk menciptakan suasana reflektif.
Kamil, yang didaulat menjadi CEO perusahaan, menjadi motor utama kelancaran program. “Kita nggak cuma ngajarin rukun haji,” ucapnya saat briefing pembukaan, “tapi ngajarin mereka mencintai Tuhan sebelum mencintai manusia.”
Yudis yang selama ini lebih banyak diam, justru paling menyatu dalam kegiatan ini. Ia seolah sedang menjalani “manasik hatinya” sendiri.
Malam Muhasabah di Rooftop Apartemen Transit Jamaah Haji
Satu malam sebelum Wukuf, para jamaah dikumpulkan di rooftop lantai 6 apartemen Aziziyah untuk rehat sejenak dan jamuan makan malam sebelum melanjutkan rangkaian Rukun Haji. Langit Makkah tampak seperti lembaran doa yang terbuka. Suara hiruk-pikuk kota tidak terdengar di sini. Hanya angin malam, lampu-lampu remang, dan cahaya Ka’bah yang jauh tapi terasa dekat.
Iskandar membuka sesi:
“Haji bukan sekadar ritual fisik.
Ia adalah pergerakan jiwa menuju puncak kepasrahan.
Dan cinta, bila tak disertai dengan tauhid, hanya akan menyesatkan jiwa.”
Seorang peserta bertanya pelan berbisik, “Kak Yudis… apakah kita boleh menyayangi seseorang yang belum pasti jodoh kita?”
Yudis diam beberapa saat, lalu menjawab tenang:
“Kalau kamu menyayangi seseorang tanpa syahwat, tanpa ambisi, dan tetap menjaga jarak… maka itu bukan salah. Itu latihan hati.
Tapi jangan gantungkan hidupmu padanya. Gantungkan pada Allah, dan biarkan Allah yang menggiring jika memang dia jalannya.”
Wukuf dan Doa-Doa Dalam Diam
Saat puncak wukuf di Arafah, jamaah diberi waktu untuk berdoa bebas pada setiap sudut dan pepohonan di Arafah.
Yudis berjalan paling belakang. Ia tidak mengangkat tangan tinggi. Tidak pula menangis keras. Tapi hatinya berkata-kata:
“Ya Rabb…
Jika Samiya bukan untukku, biarkan aku menyayanginya dalam diam yang terhormat.
Tapi jika ia memang jalanku, jaga ia dalam penjagaan-Mu…
hingga aku siap mendampinginya.”
Arafah: Di Mana Semua Harus Dilepas – Randito Hilang
Arafah.
Tempat yang tak ada bandingnya di bumi.
Di sinilah manusia kembali menjadi hamba.
Tak ada bedanya status sosial, jabatan, atau saldo rekening.
Yang tersisa hanyalah air mata dan doa yang paling jujur dari lubuk hati terdalam.
Langit terasa lebih luas hari itu.
Angin menyapu tenda-tenda putih yang berdiri sejajar di hamparan padang Arafah.
Kelima sahabat itu—Iskandar, Yudis, Kamil, Rizki, dan Randito—menghabiskan siang hari di dalam tenda di Arafah, dengan dzikir, tilawah, dan saling mendoakan dalam diam.
Iskandar duduk bersila, menggenggam mushaf.
Yudis tak jauh darinya, menulis doa di lembaran kecil yang akan dibacanya saat puncak wukuf.
Kamil sesekali membuat mereka tertawa dengan celetukan khasnya.
Rizki terlihat paling tenang—seperti telah menemukan kedamaian yang lama ia cari.
Tapi Randito…
“Eh, Randito ke mana?” tanya Rizki pelan.
Yudis melirik ke sekeliling tenda. Tak ada tanda-tanda keberadaan Randito.
“Barusan dia bilang mau keluar sebentar,” ujar Kamil. “Katanya mau ambil wudhu dan cari tempat lebih hening.”
Waktu bergulir.
Sore menjelang maghrib.
Bus-bus mulai bergerak ke Muzdalifah.
Para petugas menghimbau agar jemaah bersiap-siap menuju lokasi berikutnya.
Iskandar berdiri. “Randito belum balik, ya?”
Semua terdiam.
Yudis langsung keluar tenda, menengok ke kanan-kiri.
Tak ada tanda-tanda keberadaan Randito. Sebelumnya mereka menduga mungkin Randito pergi ke Jabal Rahmah.
Beberapa menit kemudian, mereka menyadari sesuatu: Randito benar-benar hilang.
Malam turun di Muzdalifah.
Sementara ribuan jamaah beristirahat sejenak beralaskan tanah dan langit, sambil mengumpulkan batu kerikil untuk lempar jumrah.
Iskandar justru tak bisa tenang.
“Dia nggak bawa HP, kan?” tanya Yudis.
Kamil menggeleng. Nampak dari wajahnya ia baru saja selesai menangis.
“Cuma bawa tas kecil dan mushaf.”
Iskandar yang biasanya paling tenang, terlihat gelisah.
Wajahnya tegang, keningnya berkerut dalam.
“Aku udah tanya ke beberapa bus, nggak ada yang ngangkut orang dengan ciri-ciri Randito. Bisa jadi dia jalan kaki…”
Rizki menatap ke arah langit. “Ya Allah, lindungi sahabat kami. Kalau ini ujian ruhani, semoga dia lulus.”
Malam itu, mereka hanya bisa menunggu—dan berdoa.
Pagi menjelang di Mina.
Di antara hiruk-pikuk jemaah dan antrean menuju lokasi lempar jumrah,
tiba-tiba seorang petugas haji asal Indonesia datang menghampiri mereka.
“Antum rombongan dari Indonesia ya? Ada yang namanya Randito?”
Semua serentak berdiri. “Ada! Di mana dia sekarang?”
“Barusan ditemukan oleh relawan. Tergeletak lemah di trotoar dekat tenda Mina sektor 1.
Kayaknya dehidrasi parah. Tapi sekarang udah ditangani. Kondisinya stabil.”
Iskandar langsung mengusap wajah, menunduk, lalu menangis dalam diam.
Tangis bukan karena lemah—tapi karena lega.
Beberapa jam kemudian, mereka menjenguk Randito yang sedang beristirahat.
Wajahnya pucat, tapi senyumnya tetap khas: lembut dan tenang.
“Saya benar-benar jalan kaki dari Arafah ke Muzdalifah. Gak ada satu pun bus mau berhenti, bro.
Tapi anehnya, selama jalan, saya malah ngerasa… dekat.
Bukan dekat ke tujuan, tapi dekat ke Allah,” ucap Randito lirih.
“Ya Allah Randito” rizki memeluk sambil haru menangis. Tapi apakah sempat ke Jabal Rahmah kemarin?
“Sempat,” jawabnya. “Tapi lebih banyak momen diem, nangis, dan ngerasa kecil banget.
Kaya Allah pengen saya ngerasain makna haji ini bukan cuma dari ceramah, motivasi atau saat pelatihan Manasik… tapi dari langkah kaki yang benar-benar teruji.”
Mereka saling tatap.
Tak ada yang bisa berkata-kata.
Karena hari itu, bukan hanya Randito yang diuji—
tapi juga hati mereka semua:
tentang cinta, ukhuwah, dan makna persaudaraan.
Dan di bawah langit Mina yang kembali cerah,
mereka bersyukur bahwa Manasik Cinta ini tak hanya soal cinta kepada lawan jenis,
tapi juga tentang cinta kepada sahabat…
yang berani berjalan sendiri demi menemui Tuhan.
Kabar dari Jeddah
Esok paginya, sebuah pesan masuk dari Bu Najwa:
Samiya mulai aktif ikut halaqah Quran lagi.
Dia tak banyak bicara, tapi saat saya sebut nama kamu, dia hanya senyum dan bilang:
‘Kalau dia serius, Allah yang akan jaga jaraknya.’
Nak, saya tidak tahu ini jalan kalian atau bukan. Tapi saya percaya, Allah sedang menjaga kalian dari ujian tergesa.”
Yudis hanya membalas pendek:
Terima kasih, Bu. Saya tidak akan menuntut waktu, tapi saya akan terus memperbaiki diri.
Saya tidak sedang menunggu Samiya. Saya sedang menunggu diri saya sendiri cukup pantas untuk takdir terbaik dari Allah.
Jumrah dan Refleksi Hati
Hari terakhir melempar jumrah, Randito menyarankan jamaah untuk menuliskan “nafsu” yang ingin ditinggalkan. Hal-hal buruk yang ingin dilepas.
Yudis menuliskan:
“Hasrat untuk memiliki sebelum waktunya.”
Saat batu itu dilempar, hatinya terasa lebih ringan. Ia tahu, bukan karena ia telah selesai mencintai, tapi karena kini ia sudah siap mencintai… dengan cara yang benar.
Dan disuatu malam hari-hari terakhir prosesi Haji, di hadapan Kabah, Yudis menatap langit sambil berbisik:
“Aku sudah thawaf, sudah wukuf, sudah lempar jumrah.
Tapi Manasik Cintaku… baru akan selesai saat Engkau sendiri yang memilihkan akhir cerita ini.”