(Pasca Haji – Istanbul, Jakarta, Makkah)
Langit Makkah perlahan memudar dari pelupuk mata. Para jamaah mulai kembali ke negara asal masing-masing, menyisakan jejak-jejak putih di jalanan Aziziyah dan suara koper yang tergesa berurutan masuk ke dalam Bus yang akan menuju terminal Bandara King Abdul Aziz. Tapi bagi kelima sahabat itu—Iskandar, Yudis, Kamil, Rizki, dan Randito—yang tersisa bukan hanya kenangan, tapi sebuah transformasi.
Mereka kini bukan lagi sekadar sahabat seperjuangan. Mereka telah menjadi keluarga spiritual dalam satu ikatan suci:
Ikatan Persaudaraan Haji Muda Indonesia (IPHAMI).
Sebuah jaringan baru, terbentuk dari para haji muda yang datang bukan sekadar menunaikan rukun Islam kelima, tapi membawa visi perubahan. Sebuah identitas baru bagi para profesional muda muslim yang ingin membumikan haji sebagai gaya hidup spiritual yang aktif, produktif, dan solutif.
Menjadikan Haji Sebagai Titik Awal, Bukan Titik Akhir
Rapat perdana IPHAMI di rooftop di Apartemen Aziziyah menjadi momen refleksi yang khidmat. Dengan duduk melingkar, mereka menyusun agenda keberlanjutan:
Mendirikan “Akademi Haji Muda”, sebuah program edukatif dan digital yang membimbing generasi muda menyiapkan haji sejak dini.
Menginisiasi “Gerakan Cinta Tanah Suci” sebagai lini dakwah dan pengembangan wisata ruhani berbasis syariah dan edukasi.
Memperluas sayap perusahaan mereka menjadi Holding Bisnis Lintas Negara, dengan basis utama di Arab Saudi, Turki, dan Indonesia.
Kamil, sebagai CEO, menutup rapat dengan kalimat tegas:
“Kalau Nabi Muhammad memulai revolusi dari Gua Hira,
maka kita memulai langkah baru ini dari sini, Makkah, Arafah, Muzdalifah, Mina!.”
Kembali ke Turki: Misi yang Lebih Besar
Yudis kembali ke Istanbul tak lagi sebagai mahasiswa biasa. Ia kembali sebagai Haji Muda dengan visi yang lebih tajam dan jiwa yang lebih tenang. Restoran yang ia bangun selama bertahun-tahun kini menjadi markas cabang IPHAMI wilayah Eropa
Ia mulai menyusun:
Kelas spiritual untuk mahasiswa diaspora,
Diskusi rutin antar komunitas Muslim muda di Istanbul,
Dan rencana pengembangan unit bisnis baru di sektor halal tourism.
Namun satu hal yang masih ia bawa pulang dari Makkah:
sebuah rasa yang belum tuntas.
Dialog Elif: Kejujuran yang Terakhir
Suatu malam, Elif datang ke restorannya dan duduk di meja sudut. Ia tidak banyak bicara. Hanya memesan teh dan menyodorkan sebuah buku puisi berbahasa Turki, karyanya sendiri.
“Abi Yudis,” ucapnya lembut, “aku tahu kamu belum selesai dengan kisah itu. Dan aku nggak mau jadi orang yang duduk di persimpangan.”
Yudis tersenyum. “Elif, kamu terlalu baik untuk dijadikan pelarian. Aku tidak pernah main-main. Tapi aku juga tidak ingin menyakiti siapa pun hanya karena aku tidak berani jujur.”
Elif mengangguk, matanya berkaca. “Semoga dia tahu… bahwa kamu bukan sekadar menunggu. Tapi kamu sedang berbenah.”
Berita dari Jeddah: Samiya dan Rencana Allah
Beberapa hari kemudian, sebuah pesan dari Bu Najwa kembali masuk:
Assalamu’alaikum.
Samiya akan mengikuti program pertukaran pelajar SMA ke Kuala Lumpur tahun depan.
Kami anggap ini jalan Allah untuk memperluas wawasannya.
Saya tidak bisa menjanjikan apa pun, Nak.
Tapi jika niatmu tetap baik, Insya Allah kamu tahu harus bagaimana.
Yudis membaca pesan itu lama. Tidak terburu membalas. Ia menuliskan satu kalimat di jurnal pribadinya:
“Aku tak sedang menjaga harapan atas nama Samiya.
Aku menjaga hati ini agar tetap mengenali siapa diriku saat aku mencintai.”
Pulang untuk Kembali – Pandemi Mulai Usai
Iskandar kembali ke Jakarta untuk produksi film bertema hijrah dan dakwah. Rizki memang menetap di Demak Jawa Tengah untuk melanjutkan program-programnya yang sempat tertunda. Randito mulai roadshow motivasi ke pesantren dan kampus hingga instansi. Kamil tinggal di Makkah sebagai ujung tombak perusahaan dan IPHAMI wialyah Arab Saudi.
Dan Yudis?
Ia menyiapkan ekspansi bisnis dari Turki ke wilayah-wilayah Eropa.
Dari seorang mahasiswa menjadi Haji Muda.
Dari seorang lelaki yang menunggu… menjadi lelaki yang pantas ditemui.
Sebelum matahari terbenam,
mereka thawaf wada’—
perpisahan yang tak mudah.
Di antara lautan manusia,
mereka berjalan bersama.
Bersaf dalam lingkar Ka’bah,
sambil berbisik dalam hati:
“Ya Allah, kami datang sebagai pemuda yang belum tahu banyak…
pulangkan kami sebagai hamba yang tahu arah.”