(Ketika yang Pergi, Justru Mendekat Lewat Jalan Lain)
Beberapa pekan setelah kepulangannya dari Jeddah, Yudis kembali larut dalam pekerjaannya di Istanbul. Kehidupan berjalan seperti biasa—tenang, produktif, penuh program. Tapi di balik layar, ada perasaan yang kini sudah lebih ringan. Ia tidak menyesal. Ia tidak menggantung. Ia hanya menjalani.
Namun semesta tampaknya belum selesai menuliskan kisahnya.
Pesan Tak Terduga
Sore itu, Yudis sedang mengisi sesi mentoring dengan para mahasiswa diaspora. Usai sesi, ia membuka ponselnya dan menemukan satu pesan baru. Bukan dari Bu Najwa. Bukan juga dari Gofur. Tapi dari nomor tak dikenal, berawalan +60—kode negara Malaysia.
“Assalamu’alaikum, Kak.
Ini Samiya.
Maaf kalau tiba-tiba.
Ibu memberi nomor ini.
Bolehkah kita bicara… bukan soal dulu, tapi soal sekarang?”
Yudis terdiam. Ia membacanya dua kali. Tangannya tidak langsung mengetik. Ia menatap keluar jendela. Istanbul senja hari terlihat biasa—tapi bagi Yudis, sore itu menjadi sangat tidak biasa.
Video Call Singkat, Tapi Dalam
Beberapa hari kemudian, mereka berbicara lewat video call. Samiya, kini berhijab syar’i, bercadar. Ia sedang menjalani program pertukaran pelajar setingkat SMA Internasional di Kuala Lumpur. Suaranya tetap lembut, tapi kini lebih tegas.
“Saya tidak ingin Kak Yudis salah paham. Saya bukan ingin menarik kembali apa yang sudah dilepas.
Tapi saya merasa… tidak adil kalau Kakak melangkah pergi tanpa tahu sepenuhnya.”
Yudis mendengarkan dalam diam.
“Lamaran itu… tidak pernah jadi keputusan saya. Saya ikut diam karena belum bisa bicara. Tapi hati saya tidak pernah benar-benar siap dijodohkan dengan siapa pun.”
Yudis menarik napas dalam. Ia tak ingin terlalu berharap, tapi juga tak ingin menutup pintu yang dibuka oleh kejujuran.
Jawaban yang Tidak Didesak
“Samiya,” ucap Yudis, “aku tidak akan minta kamu menjanjikan apa pun. Tapi aku akan berkata jujur: selama ini aku tidak menunggu jawaban. Aku sedang belajar menjadi laki-laki yang pantas untuk siapa pun yang Allah pilih.”
Samiya tersenyum. “Maka teruslah jadi laki-laki itu, Kak. Kalau nanti takdir masih menyisakan kita… saya akan tahu ke mana harus kembali.”
Kabar Gembira di Tengah Jarak
Beberapa minggu kemudian, Samiya mengabarkan bahwa ia diterima di Program Sarjana Internasional di Istanbul, dimulai tahun depan. ini bukan rencana yang dibuat karena Yudis, tapi begitulah takdir bekerja: lewat jalan tak disangka, tapi terasa begitu dekat.
Yudis membaca kabar itu di masjid kampus usai salat Jum’at. Ia menunduk dan berdoa dalam hati:
“Aku tidak tahu apa maksud-Mu, ya Allah.
Tapi jika ini adalah bentuk-Mu menjawab sabar dengan kejutan,
maka bimbinglah aku untuk menjaganya, bukan sekadar memilikinya.”
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Yudis tidak lagi menunggu,
tapi bersiap menyambut, dengan iman yang lebih matang dan tenang.