(Saat Harapan Tidak Lagi Terucap, Tapi Diusahakan dalam Diam)
Musim semi mulai mengisi kota Istanbul. Langit biru muda menggantikan kelabu dingin yang lama menetap. Di balkon restoran miliknya, Yudis menatap taman Al-Fateh yang semakin ramai.
Ada banyak pejalan kaki, tapi satu hal tak pernah berubah:
waktu tetap berjalan, dan hati harus memutuskan.
Rapat Lintas Negara
Perusahaan yang mereka bangun kini telah masuk fase ekspansi ke Asia Tenggara. Cabang di Istanbul dan Jeddah solid, sementara Jakarta mulai membuka peluang sinergi dengan travel umrah dan platform digital.
Yudis hadir dalam rapat Samiya bersama Kamil (dari Makkah), Iskandar (Jakarta), Rizki (Demak), dan Randito (Malang).
“Homsa Global siap bikin Leadership Camp pertama di Istanbul bulan depan,” lapor Yudis.
“Dan aku mau usul,” lanjutnya, “kalau kita mulai juga bikin tema ‘Cinta Tanpa Tergesa’ untuk para single Muslim profesional.”
Semua tertawa kecil. Tapi mereka tahu, Yudis tidak sedang bercanda sepenuhnya.
“Karena kadang, banyak orang gagal menikah bukan karena kurang cinta,
tapi karena terlalu tergesa atau terlalu takut,” katanya.
Pertemuan yang Direncanakan, Tapi Tetap Mengejutkan
Saat program Leadership Camp Istanbul berjalan, datanglah peserta baru rombongan dari program pertukaran pelajar setingkat SMA Internasional di Kuala Lumpur. Seorang gadis muda, cerdas, dan tidak banyak bicara. Namanya tertulis jelas di form pendaftaran:
Samiya binti Hasyim.
Yudis melihat namanya tanpa ekspresi berlebihan. Ia hanya menunduk.
Samiya hadir bukan sebagai cinta yang ingin dimiliki, tapi sebagai manusia yang ingin tumbuh dalam ruang yang sama.
Mereka tidak saling bicara. Tapi saling mengerti bahwa:
keduanya kini berdiri di titik yang sama: titik ingin bicara.
Restu yang Perlahan Terbentuk
Beberapa pekan kemudian, saat program berakhir, Bu Najwa menghubungi Yudis. Suaranya tenang dan lebih ringan dari biasanya.
“Nak Yudis, kalau kamu merasa masih punya niat,
maka pintu rumah kami tidak pernah benar-benar tertutup.
Kakaknya Samiya sudah lebih lunak.
Samiya juga kini lebih berani menyampaikan sikap.
Kalau kamu siap, kita bisa duduk baik-baik… bukan sebagai permintaan,
tapi sebagai langkah awal yang lebih terhormat.”
Pertemuan yang Biasa Tapi Tidak Biasa
Suatu hari yang teduh, Samiya datang dengan abaya biru tua dan hijab lembut. Wajahnya tetap kalem, tapi ada ketegasan yang dulu belum begitu tampak.
Mereka bertegur sapa seperti dua orang yang pernah saling mendoakan dalam diam.
“Ahlan Wasahlan di Istanbul,” ucap Yudis sopan, sambil tetap menjaga jarak. Terlihat sedikit salah tingkah dan kaku.
Samiya tersenyum, cukup—tanpa janji, tanpa tanda. Tapi cukup untuk membuat hati yang pernah menunggu, merasa didengarkan.
Sikap yang Terucap, Tanpa Menekan
Malam setelah sesi workshop dan motivasi, Samiya mengirim pesan:
“Saya tahu, Kak Yudis bukan laki-laki yang menunggu jawaban tergesa.
Maka biarlah saya yang kini menyampaikan sesuatu…
Saya tidak tahu masa depan. Tapi saya tidak ingin lagi diam jika itu membuat orang baik merasa terkatung-katung.”
Yudis membalas setelah shalat malam:
“Terima kasih, Samiya. Aku datang bukan untuk mengikat, tapi untuk menegaskan bahwa aku siap bila takdir akhirnya mengarah ke sana.”
Kabar dari Jeddah: Restu yang Membuka Jalan
Beberapa hari kemudian, Bu Najwa menghubungi Yudis:
“Nak Yudis, Kakaknya Samiya sudah melihat perkembangan kalian.
Kami tidak ingin buru-buru, tapi kami juga tidak ingin menutup kemungkinan.
Kalau kamu merasa siap… mari kita duduk baik-baik.
Bukan lamaran tergesa, tapi musyawarah penuh adab.”
Penerbangan Menuju Kejelasan
Yudis kembali memesan tiket ke Jeddah. Kali ini bukan dengan debaran ragu, tapi dengan ketenangan seperti lelaki yang sudah selesai bertanya-tanya.
Di ruang tunggu bandara, ia menulis dalam jurnalnya:
“Ketika aku tak lagi memaksa, ternyata takdir justru mendekat.
Ketika aku memilih menjaga adab, ternyata Allah memilih membukakan jalan.
Dan ketika aku siap melepas, ternyata aku sedang disiapkan untuk menjemput.”
Dan untuk pertama kalinya, bukan hanya Yudis yang siap, tapi dunia di sekitarnya pun mulai menyambut…
karena takdir memang tidak bisa didesak, tapi bisa dijemput… dengan hati yang telah selesai mencintai secara benar.