Musim Berganti Sabar dan Rindu
Empat tahun telah berlalu sejak pertemuan pertama mereka di Jeddah. Empat tahun sabar, menahan rindu yang tak diumbar, menjaga komunikasi dalam batas syariat, dan menata hati yang tumbuh perlahan tapi pasti.
Bukan waktu yang singkat untuk menunggu seseorang yang tak pernah bisa disentuh, hanya bisa didoakan.
Empat tahun yang penuh tekanan keluarga, godaan rasa, dan bisikan hati yang tak jarang membuat langkahnya limbung.
Tapi Yudis bertahan. Tidak karena dia kuat. Tapi karena dia percaya:
Cinta yang sabar akan menemukan jalannya di waktu terbaik.
Kini, musim haji kembali tiba. Dan kali ini, bukan hanya Yudis yang berangkat ke Makkah, tapi juga ayah dan ibunya. Keluarga Yudis mendaftar haji reguler sejak lama, dan jadwal keberangkatan mereka akhirnya datang. Tak disangka, Samiya dan Ibunya serta kakaknya juga turut nimelaksanakan Ibadah Haji di tahun yang sama.
Mereka tidak janjian. Tidak saling mengatur keberangkatan. Tapi Allah mempertemukan mereka di Tanah Suci, dengan cara-Nya yang paling halus.
Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji—dari thawaf, sa’i, wukuf, mabit, hingga tahallul—mereka dipertemukan di satu pagi yang teduh. Di antara jamaah yang masih mengalir dari hotel ke Masjidil Haram, Yudis dan Samiya duduk bersama keluarga masing-masing, tepat di pelataran Masjidil Haram, tak jauh dari Ka’bah.
Ayah Yudis berbicara dengan suara bergetar, “Kita tidak butuh tenda mewah. Cukuplah Ka’bah menjadi saksi, bahwa kalian menikah bukan karena cinta yang diburu-buru, tapi karena sabar yang ditumbuhkan dalam doa.”
Dengan ijab kabul yang dilafalkan sederhana dan penuh haru, Yudis menikahi Samiya disaksikan para rombongan jamaah Haji.
Air mata Samiya tumpah. Ibu Yudis memeluknya erat. Para sahabat—Iskandar, Kamil, Rizki, dan Randito—yang datang khusus untuk menyaksikan, berdiri di belakang sambil menunduk. Tak ada yang ingin berkata apa-apa, karena semua telah cukup disampaikan oleh air mata dan senyum.
Yudis menatap wajah Samiya yang kini telah sah menjadi istrinya.
Samiya berbisik dalam Bahasa Arab patah-patah:
“Aku dulu takut… karena aku belum siap menjadi dewasa. Tapi sekarang… aku ingin menjadi rumah untukmu.”
Yudis menjawab dalam hati:
Dan Ka’bah menjadi saksi… bahwa kau adalah takdir terbaik yang kutunggu dalam diam.
Mereka tidak mencium tangan. Tidak berpegangan.
Tapi mereka tahu,
Cinta yang halal tak harus diumbar, karena keberkahan telah lebih dulu memeluk mereka.
Tepat setelah ijab kabul itu selesai,
sebelum ada yang sempat menangis haru…
Tiba-tiba Rizki bertepuk tangan pelan:
“Sah ya?”
Kamil langsung berdiri sambil menunjuk Yudis dan berseru:
“HALAL! HALAL! HALAL!”
Samiya kaget dan tersenyum malu, sementara Yudis mengusap wajahnya dengan pasrah.
Iskandar tertawa tertahan. Randito langsung menimpali:
“Gawat nih. Malam ini mulai bisa chat ‘sayang’ tanpa dosa.”
Semua tertawa, bahkan ayah Yudis tersenyum simpul.
Ibu Samiya ikut tertawa kecil, lalu memeluk putrinya erat.
Di belakang mereka, Ka’bah berdiri megah.
Tanpa perlu saksi manusia, cinta mereka telah disahkan oleh langit.
Tanpa resepsi mewah,
mereka pulang dari ibadah haji sebagai haji muda sekaligus suami-istri.
Dan di tengah tawa sahabat-sahabatnya yang penuh canda,
Yudis tahu:
ia telah tiba di titik paling indah dalam manasik cintanya.
Malam itu, tanpa pesta, tanpa gemerlap, tanpa unggahan viral—dua insan yang telah lama menjaga cinta akhirnya bersatu. Di tempat paling suci. Di waktu paling mustajab. Setelah perjalanan paling panjang dalam hidup mereka.
Dan Ka’bah menjadi saksi.
Saksi bahwa cinta yang dijaga, akan sampai. Cinta yang ditumbuhkan dalam diam, akan tumbuh kuat. Dan cinta yang dijalani dengan iman, akan melahirkan sakinah, mawaddah, warahmah.