Matahari Jeddah bersinar terik, tapi hati Yudis lebih panas dari biasanya. Hari itu adalah hari yang tak pernah benar-benar ia persiapkan secara matang. Namun ia tahu, tak semua hal bisa ditunda sampai yakin seratus persen. Beberapa hal harus dijalani dengan keberanian yang berpakaikan doa.
Surat dari Ibu
Yudis membuka HP dan membuka kembali surat dari ibunya yang pernah ia foto. Dalam surat itu, sang ibu menuliskan harapan sederhana: agar Yudis menjadi lelaki yang kuat tapi lembut, sabar tapi berani.
Surat itu dibacanya di balkon, sambil menatap langit senja Istanbul. Air matanya jatuh, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar ingin menikah bukan karena cinta… tapi karena ingin membahagiakan ibunya yang tak pernah menuntut apa-apa.
Khitbah dan Ta’aruf
Pertemuan keluarga di Jeddah berlangsung khidmat. Tidak ada prosesi adat, tidak ada hantaran mewah. Hanya percakapan hangat di ruang tamu rumah Bu Najwa. Iskandar dan Kamil turut hadir sebagai wakil keluarga Yudis.
Kakak Samiya, yang dulu kaku, kini lebih terbuka. Ia sudah memantau perjalanan hidup Yudis dari jauh. Ia tahu bahwa lelaki ini bukan tipikal pengagum cepat lamar, cepat tinggal. Tapi lelaki yang tahu bagaimana menjaga batas dan kehormatan keluarganya.
Kesepakatan yang Tidak Biasa, Tapi Penuh Hikmah
Di akhir pertemuan, disepakati sesuatu yang tidak umum—tapi dirasa paling bijak untuk semua pihak:
“Kita terima khitbah, silahkan Ta’aruf dengan syarat dan ketentuan dalam nilai-nilai syariat.”
Mereka sepakat bahwa:
- Samiya akan menyelesaikan kuliahnya di Istanbul terlebih dahulu.
- Yudis tetap menjalankan perannya di bisnis dan organisasi.
- Komunikasi dijaga dengan adab—terbatas, terarah, dan dalam bimbingan orang tua.
- Dan… mereka saling menguatkan dalam ibadah, bukan sekadar dalam kata cinta.
Samiya yang Kini Berani Menyuarakan
Di Istanbul, Samiya mulai aktif di komunitas muslimah internasional. Ia tidak lagi menjadi gadis yang diam di balik tirai. Ia tumbuh menjadi perempuan cerdas yang tahu kapan harus bicara, kapan harus diam.
“Aku tidak pernah membayangkan bisa mencintai dengan tenang begini,” katanya pada Yudis, suatu sore di masjid kampus.
“Ternyata cinta yang ditunda, justru membuat aku merasa lebih dimuliakan.”
Yudis menatapnya sambil tersenyum. “Kita memang belum halal, tapi insya Allah sudah saling meneduhkan.”
Disetiap pertemuannya Yudis dan Samiya benar-benar berusaha menjaga diri agar tidak bertemu berduaan, hari itu Yudis ditemani oleh Pak Anto, salah satu karyawan di restoran milikya dan Samiya pun ditemani dua orang sahabatnya.
Randito dan Sebuah Nasihat
Dalam sebuah pertemuan online, Randito berkata kepada Yudis:
“Haji Yudis, Banyak orang menikah cepat karena takut kehilangan. Tapi kamu menjaga, agar pernikahan itu benar-benar menjadi hadiah terindah dari penantian panjang.”
“Menjaga halal sebelum menikah bukan berarti menunda cinta, tapi memuliakan cinta. Karena yang dijaga dalam diam, akan tumbuh dalam berkah. Dan yang sabar dalam menanti, akan diberi lebih dari sekadar pasangan—tapi ketenangan yang tak tergantikan.”
Yudis menyimpannya dalam hati.
Doa yang Dipercepat
Malam itu, di masjid kecil dekat Bosphorus, Yudis menulis dalam jurnalnya:
“Ya Allah,
aku tidak minta Engkau segerakan bersatu,
tapi aku mohon,
segerakan kedewasaanku untuk bisa memimpin,
dan segerakan kekuatan imanku,
agar saat Engkau berkata ‘ini waktunya’,
aku tak hanya siap secara finansial,
tapi siap secara ruhani.”