Orang bilang, hidup di tanah rantau adalah seni bertahan di atas keterasingan.
Jauh dari tanah kelahiran, jauh dari bahasa ibu, jauh dari wajah-wajah yang dulu biasa tersenyum tanpa basa-basi.
Bagi Fajar, Amman adalah mimpi sekaligus ujian.
Ia datang bukan hanya membawa ransel lusuh berisi buku-buku dan pakaian hangat, tapi juga membawa harapan sederhana dari sebuah rumah kecil di Palu, Sulawesi Tengah: menjadi orang yang berguna. Ayahnya berkata saat melepasnya di bandara, “Pergilah, Nak… di negeri orang nanti kau akan belajar menjadi manusia sebenar-benarnya.”
Kini di Amman—negeri langit biru yang kerap murung dan dingin itu—Fajar belajar banyak hal:
Bagaimana menaklukkan bahasa Arab yang tidak selalu ramah,
Bagaimana bertahan hidup dengan uang kiriman yang sering terlambat,
Bagaimana memahami budaya yang menjunjung kehormatan dengan cara-cara yang baru bagi dirinya.
Namun yang paling sulit adalah belajar menjaga hatinya sendiri —
dari rindu, dari kesepian, dari keinginan pulang sebelum waktunya.
Langit Amman selalu menjadi saksi perjalanan itu:
dari senja-senja kelabu di Rainbow Street,
dari dinginnya angin pagi yang memeluk flat-flat tua Jabal Amman,
hingga hangatnya salam “Ahlan wa sahlan” dari orang-orang yang bahkan belum mengenalnya dengan baik.
Cerita Fajar bukan hanya cerita tentang mahasiswa asing di negeri orang.
Ini adalah cerita tentang bertahan, bersyukur, bersabar…
Dan tentang menemukan “rumah” di tempat yang semula asing.