Angin musim dingin menyapu wajah Fajar ketika ia menutup pintu flat sempitnya di Jabal Amman. Suasana pagi itu begitu lengang. Kabut tipis menggantung di atas jalanan yang semalam basah oleh gerimis. Aroma teh mint dari kedai kecil di ujung gang menyeruak, bercampur bau tanah basah yang entah kenapa selalu membangkitkan rindu pada tanah air.
Di flat tua lantai dua yang ia tempati bersama Danu, bunyi pipa air sering menjadi alarm alami yang mengiringi pagi mereka. Sederhana, sempit, tapi itulah rumah mereka di negeri orang. Sewa flat ini sudah dua bulan tertunggak, namun pemilik flat, Abu Khalid, masih sabar—atau mungkin hanya menunggu waktu yang tepat untuk menagih.
“Bro, nanti habis kuliah kita mampir ke toko Sayyidah Fatimah ya. Aku mau beli heater bekas. Nggak tahan dingin begini,” seru Danu dari dalam dapur sambil sibuk merebus air.
Fajar hanya mengangguk. Di kepalanya, pikiran sudah melayang ke perpustakaan Universitas Yordania, tempat ia akan menghabiskan sebagian besar waktunya hari itu. Bukan sekadar membaca atau mengerjakan tugas—perpustakaan itu juga jadi tempat dia diam-diam memperhatikan Sara, mahasiswi Palestina yang tekun dan pendiam. Mereka jarang bicara. Kalau pun bicara, sebatas ucapan salam saat berpapasan.
Sara duduk di pojok rak referensi Timur Tengah, rambutnya selalu terselip rapi dalam kerudung hitam polos. Gerak-geriknya anggun, tenang, dan ada aura keteguhan yang sulit dijelaskan. Ia berbeda dengan Layla—mahasiswi asal Solo yang lebih ramah dan sering menghubungi Fajar lewat grup WhatsApp komunitas mahasiswa Indonesia di Jordan.
Tetapi ada satu sosok lain yang juga tidak kalah menarik perhatian Fajar belakangan ini: Hanin, janda muda keturunan Suriah yang tinggal di flat sebelah. Wanita itu jarang bicara, selalu muncul sekilas: saat membuang sampah, menjemur pakaian, atau sekadar menunduk memberi salam singkat saat bertemu di tangga. Namun beberapa hari lalu, ketika Fajar pulang larut, Hanin meletakkan sekotak roti hangat di depan pintu flatnya, hanya dengan secarik kertas bertuliskan:
“Untuk saudara jauh. Dinginnya Amman lebih mudah dilewati dengan sepotong roti.”
Itu sentuhan sederhana, tapi menusuk hatinya yang sedang gundah.
Hari itu, Fajar tahu bahwa masalah yang lebih besar sudah menantinya. Di handphone-nya, pesan WhatsApp dari kampung baru saja masuk. Ibunya menulis singkat:
“Ayahmu sakit, Nak. Kami mungkin tak bisa mengirim biaya bulan ini. Jaga dirimu baik-baik di sana.”
Pesan yang membuat langkah Fajar terasa berat menuruni tangga flat, meninggalkan lorong sempit yang dingin menuju jalanan Amman yang kelabu.
Namun di sudut hatinya, Fajar percaya:
Di negeri asing ini, meski badai kehidupan mendera, langit Amman tetap akan jadi saksi setiap tetes perjuangan.