Perpustakaan utama Universitas Yordania berdiri kokoh, menjadi salah satu bangunan kebanggaan kampus. Pilar-pilar megahnya berwarna krem, khas arsitektur Arab, menghadap lapangan yang pada musim dingin lebih sering sepi.
Fajar melangkah masuk dengan tas selempang lusuh. Suasana hangat dalam ruangan kontras dengan udara menggigit di luar. Aroma kertas tua, debu lembut, dan kopi dari kantin kecil di pojok ruangan seakan menjadi kombinasi yang sudah akrab baginya.
Di bangku biasa, di pojok yang sama dekat rak buku “Studi Timur Tengah”, Sara sudah duduk. Wajahnya serius menunduk menelaah teks Arab klasik yang berat. Sesekali jari-jarinya yang ramping mencatat cepat di buku tulis tebal. Fajar hanya melirik sekilas, lalu memilih duduk di meja lain, dua baris di belakangnya.
Hening.
Danu masuk beberapa menit kemudian, membawa dua cangkir kopi kertas dari kantin.
“Bro, ini buatmu,” bisiknya, menyodorkan kopi panas.
“Syukran, Nu,” jawab Fajar pelan.
Mereka berdua sudah terbiasa duduk diam lama di sini—perpustakaan bukan sekadar tempat belajar, tapi juga pelarian. Kadang mereka saling bertukar pandang tanpa bicara banyak, saling mengerti bahwa kata-kata tidak selalu perlu.
Tiba-tiba ponsel Fajar bergetar. Pesan masuk dari Layla:
“Mas Fajar, nanti sore ada pengajian di KBRI. Jamaah Indonesia. Mau ikut? Aku bisa sekalian bawa cemilan kok. Banyak teman baru juga.”
Fajar menarik napas panjang. Pengajian komunitas mahasiswa Indonesia memang sering jadi momen penting, bukan hanya untuk ibadah tapi juga saling mendukung, berbagi kabar tanah air, dan… melepaskan kerinduan. Tapi sore ini ia masih berat. Bayangan pesan ibunya tentang ayahnya yang sakit kembali muncul dalam pikirannya.
Danu menepuk bahunya pelan. “Kita harus tetap kuat, bro. Ini hidup mahasiswa rantau. Sering sendiri. Sering serba terbatas. Tapi justru ini yang bikin kita ditempa.”
Fajar tersenyum tipis. Ia menatap jendela besar perpustakaan—langit Amman sore itu kelabu, tapi samar-samar matahari berusaha menembus awan. Ada ketenangan dalam diam.
Dari kejauhan, Sara beranjak, membawa buku-bukunya. Sebelum pergi, ia menoleh sekilas dan mengucap salam pelan:
“Assalamu’alaikum, Fajar.”
Fajar kaget—baru kali ini Sara menyapanya lebih dulu.
“Waalaykumsalam,” jawabnya, agak gugup.
Danu menatap Fajar dengan senyum penuh arti. “Wah, bro… ada yang mulai kenal ya…” bisiknya geli.
Fajar hanya tertawa kecil, meneguk kopi panasnya. Di tengah kegelisahan hidup rantau, senyum sederhana itu seperti setetes embun di gurun yang kering.