Pagi itu, Café Ar Riwaq lebih ramai dari biasanya. Seorang pelanggan tetap yang berpenampilan elegan namun berwajah kaku duduk di meja dekat jendela. Fajar baru saja selesai melayani pesanan teh mint, ketika pria itu memanggilnya dengan nada tajam.
“Shabab, ini tehku kurang manis! Bagaimana kamu kerja?!”
Nada suaranya menusuk telinga. Beberapa pelanggan lain ikut menoleh. Fajar terdiam sejenak, mencoba menahan gugup.
Abu Samir, yang mengawasi dari balik bar, segera mendekat. Dengan tenang dia berkata pada pelanggan itu:
“Maafkan kami, Sayyid. Kami akan segera memperbaikinya.”
Setelah pelanggan itu pergi, Abu Samir menepuk bahu Fajar dengan bijak.
“Fajar… bekerja melayani orang bukan hanya soal teh yang manis, tapi juga hatimu yang harus manis,” katanya sambil tersenyum. “Di Amman ini, kadang orang marah bukan karena teh… tapi karena hidup mereka sendiri sedang pahit. Kita harus sabar.”
Kata-kata itu langsung menenangkan Fajar. Ia mengangguk pelan. Abu Samir memang bukan sekadar pemilik kafe… dia guru kehidupan di bumi Syam.
Sore hari
Sepulang kerja, Fajar melewati sebuah aula dekat kampus. Papan pengumuman bertuliskan “Pameran Budaya: Palestina dalam Foto dan Cerita” menarik perhatiannya.
Saat dia masuk, aroma dupa khas Timur Tengah memenuhi ruangan. Foto-foto kehidupan pengungsi Palestina terpajang rapi: tenda-tenda di kamp pengungsi, anak-anak tersenyum di tengah reruntuhan, para perempuan dengan tatapan sendu.
Di sudut ruangan, Sara berdiri di depan salah satu foto. Kerudung hitamnya membingkai wajahnya yang tenang. Ada kesedihan dan kebanggaan sekaligus di matanya.
Mereka bertatapan sesaat. Untuk pertama kalinya, Sara yang dulu sangat pendiam, berbicara agak panjang pada Fajar:
“Fajar… tahukah kamu, foto ini diambil di kamp pengungsi keluargaku di Jenin. Kadang aku merasa… perjuangan mereka lebih berat daripada semua ujian yang kita hadapi di sini.”
Fajar terdiam. Ia merasa begitu kecil dibanding beban yang dibawa Sara. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Sara memandang fotonya: bukan sekadar kenangan, tapi panggilan untuk tetap bertahan.
Sara tersenyum tipis lalu berkata, “Aku harus kembali ke rumah. Semoga harimu indah, Fajar.”
Fajar hanya bisa mengangguk. Hatinya bergetar.
Malam di flat
Danu sudah sibuk dengan laptopnya, mempersiapkan draft proposal untuk kegiatan Hari Budaya Indonesia di KBRI. Layla sempat mengirim pesan:
“Mas Fajar, besok aku butuh bantuan buat nyiapin stand makanan Indonesia di acara Hari Budaya ya. Kamu bisa? Sekalian promosi Café Ar Riwaq juga biar makin banyak yang mampir!”
Fajar tertawa kecil membaca pesan itu. Meski banyak ujian, hidupnya perlahan mulai menemukan ritme.
Danu menoleh sambil tersenyum, “Bro, kita mulai diterima di sini ya… pelan-pelan tapi pasti.”
Fajar menatap langit malam Amman dari jendela flat tua mereka. Di kejauhan terdengar adzan Isya bergema dari Masjid Abu Darwish di atas bukit.
Pelan-pelan, memang. Tapi bukankah begitu cara hidup mengajari siapa pun yang bertahan di tanah rantau?