Hari itu, halaman KBRI Amman penuh warna. Spanduk merah putih membentang di pintu gerbang bertuliskan “Hari Budaya Indonesia: Merayakan Keragaman, Mempererat Persaudaraan”.
Stand-stand kecil berdiri rapi: ada yang menyajikan sate ayam, rendang, nasi goreng, jajanan pasar, dan minuman es cincau yang sangat menarik perhatian warga lokal. Layla sibuk berkoordinasi dengan panitia lain, sementara Fajar membantu menjaga stand makanan.
Suasana penuh kehangatan: mahasiswa Indonesia bercampur dengan tamu-tamu lokal Jordan, beberapa diplomat KBRI berjalan keliling sambil berbincang santai.
Di antara keramaian itu, Moderator acara mengumumkan sesuatu yang membuat semua mata tertuju ke arah podium kecil di depan aula terbuka.
“Hadirin sekalian… hari ini kita kedatangan tamu kehormatan yang sangat istimewa, beliau adalah seorang pengusaha sukses asal Indonesia yang berkarir lintas negara, khususnya di Timur Tengah… beliau lahir di Balikpapan, dan saat ini banyak membantu pelajar dan komunitas Indonesia di luar negeri… mari kita sambut: Bapak H. Muhammad Kaamilul Khuluq!“
Tepuk tangan bergemuruh.
Seorang lelaki paruh baya berwajah teduh melangkah ke depan dengan tenang, mengenakan batik sederhana. Di sampingnya, berjalan seorang pria yang juga berwibawa: Ahmad Yudistira, mengenakan jas santai, dan di samping Yudis, istrinya Samiya yang cantik dengan kerudung pastel, memberi salam ramah.
Wajah Fajar sempat tertegun. Dia tidak pernah menyangka bisa bertemu langsung dengan sosok inspiratif seperti ini. Danu menepuk lengannya sambil berbisik, “Bro… itu Pak Kamil… aku pernah dengar cerita beliau… perjuangan hidupnya luar biasa.”
Pak Kamil mulai berbicara dengan suara tenang dan dalam:
“Kawan-kawanku semua… saya juga pernah merantau seperti kalian. Hidup sederhana, bahkan sering makan hemat hanya untuk bertahan. Tapi jangan lupa: yang paling berharga dari hidup di tanah asing adalah kemampuan kita menghargai setiap detik perjuangan. Jangan hanya kuliah… bangun relasi… pelajari karakter bangsa lain… dan cintai budaya kita.”
Ia berhenti sejenak, matanya menyapu hadirin dengan penuh kasih.
“Dan jangan malu bekerja… apapun asal halal. Jangan merasa kecil hanya karena sementara ini masih berjualan makanan atau bekerja di café… karena semua ini adalah jalan menuju keberhasilan.”
Tepuk tangan kembali bergema. Fajar merasa kata-kata itu menembus dadanya—seolah Pak Kamil tahu isi hatinya selama ini.
Sementara itu, Pak Yudis dan Samiya duduk di kursi undangan, sesekali tersenyum hangat kepada para mahasiswa yang mendekat untuk bersalaman. Samiya bahkan sempat berbincang dengan beberapa tamu wanita lokal Jordan yang tertarik dengan kerudung pastel khas Arab yang ia kenakan.
💡 Di sela acara, Layla mendekati Fajar dan berbisik:
“Mas Fajar, aku dengar Pak Yudis dan istrinya Samiya dulu juga bertemu pertama kali di café… mirip kayak kamu sekarang yang kerja di Café Ar Riwaq.”
Fajar hanya tersenyum malu, tapi hatinya hangat. Cerita tentang Pak Yudis dan Samiya membuatnya merasa bahwa hidup memang selalu menyediakan kejutan-kejutan tak terduga.
Hari Budaya itu berjalan meriah, tapi bagi Fajar, yang paling berkesan adalah pesan dari para tamu inspiratif: bahwa di tanah rantau ini, kerja keras dan kesabaran akan menemukan jalannya sendiri.