Seminggu berlalu sejak usaha kecil mereka dimulai, dan hasilnya cukup menggembirakan. Pesanan bakso frozen, keripik singkong, dan bahkan permintaan minuman es cincau mulai berdatangan dari berbagai mahasiswa asing—bukan hanya Indonesia, tapi juga Malaysia, Mesir, hingga Nigeria.
💬 Layla kembali membawa kabar baik:
“Mas Fajar, aku sudah daftarkan stand ‘Kopi Nusantara Amman’ untuk ikut bazar kuliner di kampus minggu depan. Gratis loh, karena ada dukungan dari pihak kampus untuk kegiatan multikultural.”
Fajar terharu mendengarnya. “Makasih banyak, Layla. Tanpa kamu mungkin usaha kecil ini belum bisa seperti sekarang.”
Layla tersenyum ringan, “Nggak apa-apa, aku senang kok bisa bantu. Lagipula, ini juga bentuk promosi budaya kita.”
🌿 Persiapan bazar berjalan seru.
Danu sibuk membuat spanduk sederhana:
“Nasi Goreng – Bakso Nusantara – Es Cincau – Keripik Singkong: Rasakan Kelezatan Indonesia di Amman.”
Hanin diam-diam menawarkan bantuan juga. “Kalau butuh wadah saji atau alat masak tambahan, aku punya… kapan-kapan saja bilang,” ujarnya sopan sambil memberikan talenan dan sendok kayu buatan tangan keluarganya yang dulu tinggal di Damaskus.
Hari bazar menjadi momen penting. Stand Kopi Nusantara Amman menjadi salah satu yang paling ramai. Banyak mahasiswa asing penasaran dengan bakso dan es cincau yang tidak biasa di lidah mereka. Fajar dan Danu bekerja keras melayani semua dengan ramah.
Di antara keramaian itu, Sara datang bersama teman-teman Palestina-nya.
Sara hanya mengangguk dengan senyum hangat sambil berkata, “Hari ini kalian benar-benar membawa aroma Indonesia ke Amman.”
Hati Fajar kembali terasa hangat. Bahkan beberapa dosen Universitas Yordania ikut mencoba makanan mereka dan memberikan pujian.
🌀 Namun ketika malam tiba, badai lain datang.
Sepulang dari bazar, Fajar membuka ponselnya yang sejak siang dibiarkan di tas karena sibuk. Ada tiga panggilan tak terjawab dari ibunya. Dadanya langsung berdebar.
Dengan cepat ia menelepon balik. Suara ibunya terdengar serak dan pelan.
“Nak… ayahmu… sudah tidak bisa lagi bangun dari tempat tidur. Beliau sering bertanya tentangmu. Kalau ada jalan pulang, pulanglah sebentar ya… tapi kalau tidak bisa, cukup doakan saja dari sana…”
Fajar terdiam. Suaranya tercekat. Air mata mengalir tanpa terasa.
Danu yang melihat ekspresi Fajar langsung paham: ada sesuatu yang berat baru saja tiba.
“Bro… kalau kamu harus pulang, aku bisa jaga semuanya di sini… kita jalani usaha ini bareng-bareng kok, jangan khawatir,” kata Danu dengan suara pelan tapi meyakinkan.
🌌 Malam itu di flat sederhana mereka, Amman terasa lebih sunyi.
Langit tetap bertabur bintang, tapi hati Fajar terasa berat. Ia duduk diam memandangi jalanan sepi dari jendela, menggenggam ponselnya erat.
➡️ Pilihan ada di depannya: bertahan di tanah Syam dan menjaga semua perjuangannya, atau pulang ke tanah air meski hanya untuk sejenak, mendampingi ayahnya di ujung hayat.