Pagi itu, Amman masih diselimuti kabut tipis. Jalanan menuju Queen Alia International Airport terasa lengang, seolah kota ini ikut mengantar kepergian Fajar untuk sementara waktu.
Di kursi taksi tua yang bergoyang di setiap jalan bergelombang, Fajar menatap keluar dengan perasaan campur aduk. Flat sederhana di Jabal Amman, café tempat ia bekerja, teman-temannya, bahkan wajah-wajah pelanggan yang mulai akrab — semua seperti berkelebat di matanya.
“Aku akan kembali… insya Allah,” batinnya.
Sesampainya di bandara, Layla sudah menunggu di pintu keberangkatan. Ia datang mewakili komunitas mahasiswa Indonesia.
“Mas Fajar, ini ada sedikit oleh-oleh untuk keluargamu…” katanya sambil menyerahkan sebungkus kecil kurma Madinah. Senyum Layla hangat tapi matanya sedikit berkaca-kaca.
“Terima kasih, Layla… terima kasih untuk segalanya. Titip Danu ya…” ucap Fajar pelan.
Layla hanya mengangguk, “Akan kami jaga semuanya di sini, jangan khawatir. Pulanglah dengan tenang.”
Fajar melangkah melewati imigrasi. Pesawat menuju Jakarta — perjalanan panjang, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal: bertemu ayahnya.
🌙 Di kampung halaman, Palu, Sulawesi Tengah
Setelah perjalanan panjang hampir 20 jam, Fajar tiba di rumah sederhana yang begitu ia rindukan. Aroma tanah basah, udara kampung yang lembab tapi hangat — semua membangkitkan memori masa kecilnya.
Ibunya menyambut di depan pintu rumah dengan mata yang berkaca-kaca.
“Fajar… nakku… alhamdulillah kau pulang,” katanya sambil memeluk erat.
Fajar tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menangis dalam pelukan ibunya, melepaskan semua rindu yang selama ini ditahan.
Di dalam rumah, ayahnya terbaring lemah di kamar depan. Tubuhnya sudah kurus, matanya sayu tapi bersinar ketika melihat Fajar datang mendekat.
Dengan suara lirih, ayahnya berkata,
“Fajar… kau sudah pulang, Nak… terima kasih… ayah hanya ingin memastikan kau baik-baik saja di sana… itu saja…”
Air mata Fajar mengalir deras.
“Ayah… aku baik-baik saja, yah… aku bertahan di sana… aku belajar, aku kerja, aku tidak menyerah…”
Ayahnya tersenyum pelan, genggamannya melemah, namun wajahnya penuh damai.
Ia menarik napas panjang sekali… lalu melepasnya perlahan.
Ibunya menutup wajah dengan kain, menahan tangis. Fajar memeluk tangan ayahnya erat-erat.
Ayahnya telah pergi — tetapi dalam keadaan bahagia, telah melihat anaknya pulang dan tetap kuat di negeri rantau.
🌌 Malam itu, di halaman rumah, Fajar duduk sendiri menatap bintang-bintang.
Langit Palu malam itu tak kalah indah dengan langit Amman.
Yang berbeda hanyalah tempat, tetapi bintang-bintangnya sama… seolah memberi pesan:
➡️ “Perjuanganmu belum selesai. Segera kembali ke Bumi Syam, lanjutkan langkahmu, bawa doa ayahmu bersamamu.”
Dan Fajar berjanji pada dirinya sendiri:
“Aku akan kembali ke Amman. Aku tidak akan menyerah. Aku akan pulang membawa keberhasilan.”