Beberapa bulan berlalu sejak Fajar kembali ke Amman. Usaha kecil mereka, Kopi Nusantara Amman, perlahan tumbuh menjadi lebih dari sekadar bisnis iseng mahasiswa perantauan. Stand mereka kini sering hadir di berbagai acara kampus, dan menu sederhana seperti bakso frozen, keripik singkong, es cincau, bahkan sudah dikenal oleh sebagian mahasiswa asing.
Fajar tidak lagi sekadar berjuang bertahan hidup — ia mulai menikmati bagaimana setiap peluhnya justru membangun sesuatu yang baru.
Ada bangga yang sederhana tapi tulus.
🌟 Undangan istimewa dari KBRI Amman
Satu hari, pesan resmi datang dari pihak KBRI.
Fajar dan Danu diundang menjadi salah satu narasumber dalam acara bertajuk “Perjuangan Mahasiswa Diaspora: Inspirasi dan Semangat Baru”.
Yang membuat acara itu lebih istimewa:
Pak Randito bersama Pimpinan Jordan Aviation juga hadir sebagai pembicara kehormatan.
Sore itu, aula KBRI penuh oleh mahasiswa Indonesia, beberapa diplomat, serta undangan warga lokal yang tertarik dengan cerita diaspora Indonesia di Jordan.
🌿 Fajar berdiri di depan mikrofon, menggenggam secarik kertas kecil berisi catatannya.
Awalnya ia gugup, tapi ketika memandang wajah-wajah yang hadir — wajah Danu, Layla, Hanin yang duduk di sudut ruangan, bahkan senyum hangat Pak Randito — ia merasa tenang.
Lalu ia bicara, dengan suara yang pelan tapi dalam:
“Kawan-kawan sekalian… saya hanya seorang mahasiswa biasa, anak kampung dari Lampung, yang datang ke Amman membawa mimpi kecil. Perjuangan di tanah rantau ini memang tidak mudah. Kadang kita lapar, kadang kita kesepian, kadang kita nyaris menyerah.”
Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam.
“Tapi saya belajar satu hal: rumah bukan hanya tempat kita dilahirkan… rumah adalah tempat kita diperjuangkan. Di sini saya merasa memiliki rumah kedua — bukan karena flat sederhana kami, tapi karena orang-orang baik yang mau saling menjaga, mau saling menguatkan.”
Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan.
Pak Randito tersenyum bangga dari tempat duduknya, berbisik kepada Direktur Jordan Aviation, “Anak ini sudah dewasa… sudah layak disebut pejuang diaspora.”
🌌 Malam harinya, kembali di flat
Fajar duduk sendirian memandang jendela. Jalanan Jabal Amman malam itu lengang, dingin masih menusuk, tapi hatinya hangat.
Danu duduk di sebelahnya sambil menyeruput teh mint.
“Bro, kita sudah sampai di titik ini. Perjuangan kita masih panjang, tapi lihat… siapa sangka?” kata Danu.
Fajar tersenyum, menatap jauh ke langit Amman yang bertabur bintang.
Dalam hatinya ia berdoa:
“Terima kasih, Allah… untuk ayahku yang sudah tenang di sana, untuk ibu di kampung, untuk teman-teman di rantau ini… dan untuk semua yang Kau ajarkan padaku selama perjalanan ini.”
Ia sadar, rantau telah mengajarinya banyak hal:
➡️ Tentang kesabaran,
➡️ Tentang persahabatan,
➡️ Tentang menghargai setiap momen kecil,
➡️ Dan yang terpenting, tentang makna pulang yang sebenarnya.
Bagi Fajar, pulang bukan hanya kembali ke tanah kelahiran… tapi juga kembali pada semangat awal: bertahan, berjuang, dan berbagi kebaikan di mana pun kaki berpijak.
✨ TAMAT