Beberapa tahun telah berlalu sejak hari itu di aula KBRI.
Kini Amman sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Fajar. Usaha kecil Kopi Nusantara Amman telah berkembang menjadi komunitas mini yang mempertemukan banyak perantau, mahasiswa asing, dan warga lokal yang penasaran pada budaya Indonesia.
Fajar tetap menyebut flat sederhana di Jabal Amman sebagai “rumah”, meski kini ia juga mengurus dapur kecil di dalam Café Ar Riwaq atas izin dan kepercayaan Abu Samir.
Layla tetap menjadi sahabat setia, sering membantu mempromosikan acara komunitas.
Hanin sudah pulang ke Suriah setelah kabar keluarganya membaik, tapi sebelum pergi, ia meninggalkan secarik surat sederhana:
“Terima kasih sudah membuat flat kita penuh cerita baik. Aku berdoa dari jauh.”
Pada suatu senja, Fajar duduk sendirian di tangga flat yang dulu menjadi tempat ia merenung. Angin dingin khas Amman menyapu wajahnya, membawa aroma tanah Syam yang sudah begitu akrab.
Ia memandang langit—langit yang dulu terasa asing, kini seperti sahabat lama yang menemaninya melewati semua badai.
“Ayah,” bisiknya pelan dalam hati,
“aku telah bertahan di sini… dan aku masih terus berjuang, membawa doa-doamu.”
Bagi Fajar, bumi syam ini telah menjadi rumah kedua — bukan karena bangunan, tapi karena pengalaman, air mata, peluh, persahabatan, dan semua makna hidup yang ia temukan di sini.
Dan ia tahu:
➡️ Setiap langkah di tanah asing ini tidak akan pernah sia-sia, karena di setiap langkah itulah ia belajar menjadi manusia seutuhnya