RASIONALIS.COM – Tiga warga negara yang terdiri dari Brahma Aryana, serta dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Muh Adam Arrofiu Arfah dan Arina Say’in Afifa, secara resmi mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, Kamis (18/7). Permohonan ini diajukan sebagai respons kritis terhadap Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengatur pemisahan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah 18/7/24
Permohonan tersebut diajukan melalui kuasa hukum dari Kantor Hukum Girindra Sandino and Partners, dan ditujukan untuk menguji konstitusionalitas sejumlah ketentuan dalam UU Pemilu dan UU Pilkada, yakni Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
Dalam permohonan yang disampaikan, para Pemohon menilai bahwa Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 menciptakan norma baru yang berpotensi mengganggu prinsip periodisitas pemilu, mereduksi akuntabilitas wakil rakyat, dan mengikis kepercayaan publik terhadap demokrasi elektoral.
Kritik terhadap Pemisahan Pemilu
Putusan MK yang memerintahkan pemisahan waktu antara pemilu nasional dan pemilu daerah dengan jeda 2–2,5 tahun dinilai berimplikasi serius terhadap siklus kekuasaan demokratis. Salah satu poin krusial yang dipermasalahkan adalah potensi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 hingga 2031, tanpa pemilihan ulang.
“Ini berpotensi melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa pemilu harus dilakukan setiap lima tahun. Tanpa mandat elektoral baru, perpanjangan masa jabatan merupakan bentuk kekuasaan tanpa legitimasi rakyat,” ujar Muh Adam, salah satu Pemohon.
Selain itu, Pemohon juga menyatakan bahwa pemisahan pemilu akan melemahkan akuntabilitas wakil rakyat, sebab tidak adanya siklus evaluasi melalui pemilu lima tahunan akan memutus hubungan antara wakil dan rakyat. Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Partisipasi Tinggi Bukan Bukti Kegagalan Keserentakan
Dalih Mahkamah Konstitusi yang menyebut kompleksitas pemilu serentak menurunkan kualitas partisipasi pemilih juga dipertanyakan. Para Pemohon menunjukkan bahwa data justru menunjukkan sebaliknya. Partisipasi pada Pemilu 2019 mencapai 81,97%, dan pada Pemilu 2024 pun tetap tinggi di atas 81% untuk semua jenis pemilihan.
“Angka-angka ini membuktikan bahwa pemilih tidak mengalami kebingungan sebagaimana dikhawatirkan. Bahkan, efek ‘ekor jas’ dari pemilihan presiden mendorong partisipasi lebih luas dalam pemilu legislatif,” kata Arina Say’in Afifa.
Pemohon juga membantah bahwa tingginya angka suara tidak sah semata-mata akibat desain pemilu serentak. Menurut mereka, fenomena ini bersifat multidimensional, melibatkan faktor teknis, pendidikan pemilih, hingga ekspresi politik. Mereka justru mendorong peningkatan kapasitas penyelenggara pemilu dan edukasi politik sebagai solusi jangka panjang.
Seruan untuk Menjaga Konstitusi
Brahma Aryana, yang juga aktif dalam Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, menegaskan bahwa permohonan ini bukan semata soal waktu pemilu, tetapi menyangkut prinsip dasar demokrasi dan supremasi konstitusi.
“Ketika tafsir hukum justru menciptakan norma baru yang berpotensi merugikan rakyat dan menabrak asas periodisitas, maka di situlah kewajiban konstitusional warga negara untuk bertindak,” tegasnya.
Para Pemohon berharap agar Mahkamah Konstitusi dapat mengkaji kembali arah putusan tersebut secara mendalam dan konstitusional. Mereka menyerukan agar MK mengembalikan kepastian hukum, menjamin siklus kekuasaan demokratis yang sehat, serta melindungi hak-hak warga negara dalam sistem pemilu yang adil dan setara