Setiap musim umrah dan haji, kita melihat fenomena yang berulang: jamaah dari Indonesia berlomba-lomba membawa atau menitipkan mushaf Al-Qur’an untuk diwakafkan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Sebagian bahkan menjadikannya program rutin, lengkap dengan label-label “Wakaf Mushaf untuk Tanah Suci.”
Niat mereka mulia, tidak diragukan. Tapi mari kita jujur dan membuka mata: apakah Tanah Suci benar-benar membutuhkan wakaf mushaf dari Indonesia?
Fakta yang Tak Terbantahkan: Arab Saudi Telah Mandiri dan Melimpah
Arab Saudi bukan negara kekurangan Al-Qur’an. Sejak puluhan tahun lalu, mereka memiliki Percetakan Al-Qur’an Raja Fahd di Madinah, salah satu percetakan mushaf terbesar di dunia. Tiap tahun, mereka mencetak lebih dari 10 juta eksemplar mushaf dalam berbagai bahasa. Setiap Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dilengkapi dengan mushaf dalam kondisi terbaik, terawat, dan selalu diperbarui secara berkala.
Setiap rak Al-Qur’an di Masjidil Haram sudah penuh. Setiap rak itu sudah ditentukan standarnya, kualitasnya, dan asalnya.
Arab Saudi bukan negara yang kekurangan mushaf. Justru sebaliknya, mereka memiliki fasilitas distribusi Al-Qur’an terbaik dan terbesar di dunia—yakni Percetakan Al-Qur’an Raja Fahd di Madinah, yang mencetak lebih dari 10 juta mushaf setiap tahun dalam berbagai bahasa.
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi merupakan titik distribusi utama. Setiap rak di masjid sudah penuh dengan mushaf resmi, dicetak oleh negara dan diawasi oleh otoritas tinggi. Bahkan, mereka memiliki sistem penggantian dan pemeliharaan berkala yang terintegrasi.
Dalam konteks ini, menyetorkan wakaf mushaf ke Masjidil Haram adalah seperti mengantar air ke laut. Tidak dibutuhkan. Tidak efektif. Tidak masuk akal.
Pernyataan Resmi dari Pengurus Masjid Nabawi: Jangan Wakafkan ke Sini
Dalam wawancara resmi, Abdul Wahid Al-Hetab, Direktur Humas Masjid Nabawi, menyampaikan:
“Pemerintah Saudi telah menyediakan Al-Qur’an di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Bahkan mushaf itu juga diberikan secara cuma-cuma kepada jamaah. Saya memandang baik jika wakaf itu diberikan kepada kaum Muslim di negaranya sendiri.”
Pernyataan ini bukan tafsiran. Ini adalah suara otoritas langsung dari pengelola masjid suci. Artinya, wakaf Al-Qur’an dari luar negeri, termasuk dari jamaah umrah dan haji Indonesia, tidak dibutuhkan dan tidak relevan.
Ke Mana Pergi Mushaf yang Kita Wakafkan?
Wakaf tunai yang dikumpulkan untuk membeli mushaf dan dikirim ke Masjidil Haram tidak serta-merta digunakan di masjid. Beberapa fakta yang jarang diketahui:
Mushaf dari luar negeri yang masuk tanpa izin resmi akan diamankan oleh petugas, bukan diletakkan di rak.
Mushaf-mushaf itu sering tidak digunakan, disimpan, atau dialihkan ke tempat lain, jika dianggap layak.
Bahkan, banyak yang berakhir di gudang, tak tersentuh tangan jamaah.
Mushaf yang dibawa jamaah atau dikirim melalui koperasi dan travel tidak langsung masuk ke dalam rak Masjidil Haram.
Mushaf itu akan diamankan oleh petugas, diperiksa, dan jika tidak sesuai standar percetakan resmi, tidak digunakan.
Banyak mushaf yang akhirnya disimpan di gudang, atau dikirim ke tempat lain di luar area Masjidil Haram.
Jadi, bagaimana pahala jariyah bisa terus mengalir jika mushaf Anda tak pernah dibaca?
Singkatnya: mushaf yang Anda wakafkan bisa jadi tidak pernah disentuh satu pun jamaah.
Niat Baik yang Tanpa Ilmu Bisa Jadi Kesalahan
Islam tidak hanya menekankan pada niat, tetapi juga pada hikmah, manfaat, dan ketepatan. Wakaf adalah ibadah yang agung, tetapi jika dilakukan tanpa pengetahuan yang benar, ia bisa menjadi sia-sia. Bahkan bisa jadi hanya menjadi beban logistik.
Jika Masjidil Haram sudah penuh dengan mushaf resmi, maka menambahnya dari luar sama seperti mengirim nasi bungkus ke restoran mewah—tidak pada tempatnya.
Wakaf Bukan Sekadar Niat, Tapi Soal Manfaat dan Ilmu
Islam mengajarkan kita untuk beramal dengan ilmu. Wakaf adalah amal besar, tapi bisa jadi sia-sia jika salah sasaran. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang jika beramal, maka ia menyempurnakannya.” (HR. Thabrani)
Menyempurnakan amal wakaf berarti: tahu di mana dibutuhkan, tahu kepada siapa diberikan, dan tahu apa dampaknya. Bukan sekadar simbol religius tanpa efektivitas.
Solusi Wakaf yang Lebih Tepat: Kembali ke Tanah Air
Di saat Masjidil Haram tidak membutuhkan mushaf tambahan, Indonesia masih kekurangan ribuan mushaf di banyak pelosok negeri:
Pesantren kecil dan madrasah swasta yang kekurangan mushaf layak.
Rumah-rumah tahfizh di pedalaman yang hanya punya satu-dua mushaf tua.
Lembaga pemasyarakatan yang ingin membina rohani para narapidana.
Komunitas Muslim di daerah minoritas agama.
- Di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), anak-anak membaca mushaf robek atau lusuh.
Di sinilah wakaf Al-Qur’an kita sangat dibutuhkan. Di sinilah amal jariyah bisa benar-benar hidup. Di sinilah pahala besar itu menunggu.
Kesimpulan: Berhentilah Wakaf Al-Quran ke Masjidil Haram. Berwakaflah dengan Cerdas.
Sudah saatnya kita berhenti memaksakan wakaf mushaf ke tempat yang sudah tidak membutuhkannya. Arab Saudi bukan tempat kekurangan. Mereka mandiri dan profesional dalam urusan pengelolaan mushaf.
Arab Saudi tidak butuh mushaf Anda. Tapi anak-anak desa di pelosok negeri sangat menantikannya.
Mari sadari ini: amal terbaik bukan yang terlihat megah, tapi yang memberi manfaat nyata.
Berhentilah beramal berdasarkan tradisi lama yang keliru.
Mulailah beramal berdasarkan ilmu, data, dan akal sehat.
Sudah saatnya kita berhenti dari tradisi yang salah arah.
Sudah saatnya kita mengatakan dengan tegas dan cerdas:
Arab Saudi tidak membutuhkan wakaf Al-Qur’an dari jamaah umrah dan haji.
Mereka sudah sangat mencukupi. Bahkan mushaf diberikan gratis kepada siapa pun. Yang membutuhkan wakaf adalah saudara-saudara kita di pelosok negeri yang belum bisa menyentuh lembaran Al-Qur’an setiap hari.
Mari sadari dan luruskan. Jangan terus mengulang kekeliruan kolektif ini.
Berwakaflah dengan ilmu. Berwakaflah ke tempat yang tepat.
Itulah amal yang rasional, berdampak, dan membawa keberkahan.