Rasionalis.com, JAKARTA — Pada penghujung Juli 2025, publik Indonesia kembali dihadapkan pada realitas yang sudah akrab tapi tetap menggelisahkan: keputusan hukum yang bersinggungan erat dengan dinamika kekuasaan. Kali ini, dua nama besar jadi sorotan—Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto.
Presiden mengirimkan dua surat resmi ke DPR RI. Hasilnya? DPR menyetujui abolisi untuk Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang sebelumnya terseret dalam dugaan pelanggaran hukum. Sementara itu, Hasto Kristiyanto, eks Sekjen PDIP yang sedang menjalani proses hukum, mendapat amnesti, bersama lebih dari seribu narapidana lain.
Alasannya? Demi kondusivitas nasional. Demi menjaga persatuan. Demi kontribusi mereka pada bangsa.
Tapi benarkah ini soal hukum dan persatuan? Atau sekadar kalkulasi politik dalam tahun-tahun transisi kekuasaan?
Politik di Balik Ampunan
Abolisi bukan sekadar pembatalan pidana. Ia adalah penghapusan proses hukum dari seseorang, bahkan sebelum ia terbukti bersalah atau tidak. Ini ibarat penghapus yang menghilangkan jejak tinta sebelum lembaran itu dibaca utuh oleh publik. Dalam sistem hukum yang sehat, hal semacam ini idealnya hanya terjadi dalam situasi luar biasa, dengan pertimbangan objektif yang dapat diuji secara transparan.
Tapi yang kita lihat justru sebaliknya. Abolisi dan amnesti kini lebih mirip alat politik, bukan perangkat konstitusional yang digunakan hati-hati. Satu pihak dilepaskan dari proses hukum, pihak lain dibebaskan dari hukuman—semuanya dalam tempo hampir bersamaan.
Di tengah euforia Hari Kemerdekaan yang akan datang, alasan “membangun persatuan” terasa terlalu manis untuk tidak dicurigai. Terlebih jika tokoh yang diberi pengampunan adalah bagian dari orbit kekuasaan yang masih hangat.
Keadilan untuk Siapa?
Pertanyaannya sederhana namun mendalam: jika mereka bisa dibebaskan dengan tanda tangan Presiden, bagaimana nasib rakyat kecil yang terjebak kasus hukum tanpa akses ke pengacara hebat atau koneksi politik?
Masih banyak anak muda yang ditahan karena unggahan di media sosial. Masih banyak ibu rumah tangga yang dipenjara karena utang pinjaman daring. Apakah mereka punya jalan ke Istana? Apakah surat mereka dibacakan di DPR?
Jika keadilan bisa dinegosiasikan, maka itu bukan lagi hukum—itu transaksi.
Rasional Tapi Solutif
Rasionalis tidak hanya ingin mengkritik. Kami menawarkan solusi:
- Publikasi dokumen resmi: Seluruh pertimbangan hukum yang melatarbelakangi abolisi dan amnesti harus dibuka ke publik. Tidak ada alasan menyembunyikannya jika tujuannya adalah menjaga kepercayaan rakyat.
- Standarisasi prosedur abolisi/amnesti: Perlu disusun indikator objektif, tidak hanya “kontribusi terhadap bangsa” yang multitafsir. Rakyat berhak tahu apa parameternya.
- Keterlibatan masyarakat sipil: Tidak cukup hanya Presiden dan DPR. Harus ada ruang partisipasi publik melalui LSM, akademisi, dan jurnalis hukum.
- Reformasi konstitusi teknis: Hak prerogatif presiden harus dilengkapi dengan mekanisme kontrol etik dan publikasi. Supaya tidak menjadi ruang gelap politik elite.
Negara hukum bukan hanya ditandai oleh adanya pengadilan dan jaksa. Negara hukum sejati hadir ketika setiap warga, tak peduli jabatannya, tunduk pada aturan yang sama.
Jika abolisi dan amnesti hanya milik mereka yang dekat kekuasaan, maka Indonesia tidak sedang menuju keadilan. Kita hanya sedang melanggengkan kasta hukum yang tak pernah menyentuh langit kejujuran.
Rasionalis.com berdiri untuk mencerdaskan, bukan menyesatkan. Untuk menyuarakan keadilan yang merata, bukan selektif. Untuk menantang publik agar berpikir, bukan sekadar menerima.
Abolisi bukan pelunakan hukum, tapi ujian integritas bangsa. Bila hukum bisa dihentikan untuk elite, siapa yang bisa jamin keadilan berlaku sama bagi rakyat biasa?
Rasionalis.com
Media Jurnal Fakta Berita. Mencerahkan bangsa, menyentuh nurani.