Muh Adam Arrofiu Arfah Sebagai kader PMII Kab. Bogor, memandang pembentukan Kementerian Haji dan Umroh perlu diposisikan secara kritis. Memang benar, Pasal 17 UUD 1945 memberikan hak prerogatif kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Bahkan setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 yang mengubah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008, jumlah kementerian kini tidak lagi dibatasi sehingga Presiden memiliki keleluasaan penuh menata struktur kabinet sesuai kebutuhan. Namun dalam kerangka akademik, keleluasaan hukum tersebut tidak boleh dipahami sebagai ruang bebas tanpa orientasi. Setiap pembentukan kementerian tetap harus diuji berdasarkan prinsip efektivitas, efisiensi, serta relevansinya dengan kepentingan publik.
Permasalahan dalam tata kelola haji dan umroh bukanlah soal ketiadaan kementerian khusus, melainkan lemahnya implementasi prinsip good governance yang meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan supremasi hukum. Pengalaman menunjukkan bahwa masalah penyalahgunaan anggaran, manipulasi data, dan pelayanan yang kurang memuaskan jamaah tidak pernah selesai hanya dengan memperluas struktur birokrasi. Yang lebih krusial adalah memperkuat sistem pengawasan secara operasional dan sistematis dalam setiap tahapan penyelenggaraan haji dan umroh.
Secara operasional, penyelenggaraan haji dan umroh dapat dipetakan dalam tiga fase besar. Pertama, fase perencanaan, yang meliputi penetapan kuota jamaah, penentuan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), hingga proses seleksi dan pelatihan petugas. Pada tahap ini, fungsi pengawasan harus hadir untuk menjamin keterbukaan informasi, akurasi data, dan keadilan distribusi, sehingga tidak terjadi praktik diskriminatif atau manipulatif. Kedua, fase pelaksanaan, yang mencakup transportasi, pemondokan, katering, pelayanan kesehatan, hingga pendampingan jamaah di tanah suci. Di sinilah fungsi pengawasan harus paling ketat, karena potensi penyalahgunaan anggaran dan layanan paling sering muncul dalam praktik distribusi barang dan jasa. Ketiga, fase evaluasi, yang berfokus pada akuntabilitas kinerja dan keuangan. Audit publik, pemeriksaan BPK, dan pengawasan legislatif harus dijalankan secara terbuka, bukan sekadar formalitas, agar kelemahan di tahun berjalan dapat diperbaiki untuk penyelenggaraan tahun berikutnya. Dengan demikian, pengawasan tidak bisa ditempatkan hanya di hilir, melainkan harus mengalir sepanjang siklus kebijakan.
Dalam perspektif keislaman, ibadah haji dan umroh adalah kewajiban suci yang patut difasilitasi negara. Namun Indonesia berdiri di atas fondasi Pancasila dan UUD 1945, sehingga pengelolaan ibadah tidak boleh menciptakan kesan eksklusivitas keagamaan yang berpotensi mengaburkan semangat kebangsaan. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan jaminan kebebasan beragama, yang berarti negara harus melayani umat Islam dalam penyelenggaraan haji dan umroh tanpa mengurangi komitmennya pada toleransi dan kemajemukan. Spirit Islam sendiri mengajarkan nilai keterbukaan, keadilan, dan kebersamaan, yang seharusnya diwujudkan dalam tata kelola pelayanan publik yang bersih, transparan, dan inklusif, bukan dengan memperbesar struktur kelembagaan yang rawan inefisiensi.
Karena itu, meskipun presiden kini memiliki keleluasaan penuh menambah kementerian, pembentukan Kementerian Haji dan Umroh tetap tidak menjawab akar persoalan. Substansi yang perlu dibenahi adalah integritas aparatur, tata kelola yang profesional, serta sistem pengawasan yang menyeluruh. Hanya dengan perbaikan struktural dan kultural inilah negara dapat hadir melayani umat Islam yang hendak menunaikan ibadah haji dan umroh, sembari tetap menjaga nilai kebangsaan, toleransi, dan kemajemukan yang menjadi dasar berdirinya Republik Indonesia.