Rasionalis.com, — Presiden Indonesia memiliki hak prerogatif yang sangat besar dalam sistem ketatanegaraan. Salah satunya adalah hak memberikan abolisi dan amnesti, sebagaimana dijamin dalam Pasal 14 UUD 1945. Namun, di tengah politik yang makin dinamis dan publik yang makin cerdas, hak ini tidak bisa lagi diperlakukan sebagai sekadar formalitas kekuasaan. Ia adalah ujian. Bagi Presiden. Bagi negara. Dan bagi arah masa depan republik ini.
Apa Itu Abolisi, dan Mengapa Penting?
Abolisi berbeda dengan grasi atau amnesti. Ia bukan sekadar pengampunan. Ia adalah penghapusan proses hukum. Seseorang yang sedang diselidiki, dituntut, atau disidangkan bisa dibebaskan bahkan sebelum kebenaran diuji di pengadilan. Dengan satu surat, seluruh proses hukum terhenti.
Inilah yang membuat abolisi menjadi senjata dua mata: bisa menjadi pintu pengampunan nasional yang bijak, bisa juga menjadi alat pelolosan politik yang busuk.
Ketika Presiden Bicara Soal “Persatuan”
Dalam praktiknya, pemberian abolisi dan amnesti sering dikaitkan dengan alasan besar seperti “rekonsiliasi nasional”, “persatuan bangsa”, atau “kondusivitas politik”. Namun publik mulai bertanya: mengapa hanya tokoh politik yang mendapat pengampunan semacam itu? Mengapa tidak ada abolisi untuk petani yang tertangkap karena menebang kayu di tanah adat? Mengapa tidak ada amnesti bagi jurnalis kampung yang dikriminalisasi karena memberitakan korupsi?
Jika hukum hanya lembut pada elite, dan tetap keras pada rakyat kecil, maka abolisi bukanlah kebijakan negara. Ia hanyalah negosiasi kekuasaan.
Presiden Sebagai Simbol Etika, Bukan Sekadar Pemegang Kekuasaan
Presiden, siapa pun yang menjabat, adalah wajah dari moral politik bangsa. Ketika Presiden memberikan abolisi, ia bukan hanya menandatangani dokumen. Ia sedang mengirim pesan: siapa yang layak dimaafkan, siapa yang harus terus dihukum.
Maka setiap keputusan abolisi harus melewati tiga ujian:
- Ujian hukum – apakah prosesnya sah, sesuai aturan.
- Ujian rasionalitas – apakah alasannya logis, masuk akal.
- Ujian moralitas – apakah keputusan itu adil di mata publik.
Tanpa ketiga unsur ini, abolisi bisa menjadi awal dari pembusukan supremasi hukum.
Masa Depan Indonesia: Abolisi Harus Dikawal
Ke depan, Indonesia tidak bisa lagi membiarkan hak prerogatif Presiden berjalan tanpa kontrol publik. Jika abolisi dan amnesti tetap menjadi wilayah eksklusif segelintir elite, maka kepercayaan pada negara akan rapuh.
Rasionalis.com mendorong beberapa langkah pembaruan:
- Transparansi penuh: Setiap surat abolisi dan amnesti harus disertai dokumen pertimbangan hukum dan diseminasi publik.
- Keterlibatan masyarakat sipil: Lembaga seperti Komnas HAM, Komisi Yudisial, dan akademisi hukum perlu punya ruang untuk memberi penilaian terbuka.
- Indikator objektif: Kontribusi pada bangsa, penyesalan yang tulus, serta rekam jejak yang baik harus terukur dan terverifikasi.
Jangan Permainkan Keadilan
Abolisi bisa menjadi hadiah kebijaksanaan. Tapi ia juga bisa menjadi bumerang sejarah. Presiden Indonesia harus menyadari bahwa setiap tanda tangannya adalah narasi masa depan.
Rakyat menonton. Sejarah mencatat. Dan generasi mendatang akan menilai: apakah republik ini pernah memilih keadilan? Atau pernah memilih untuk menyingkirkan hukum demi stabilitas semu?
Rasionalis.com — Mencerahkan Literasi, Menyentuh Nurani.