Di antara senyapnya malam Istanbul, di balkon restoran yang menghadap Bosphorus, Yudis duduk bersama Iskandar, Kamil, Rizki, dan Randito. Mereka baru saja menyelesaikan Leadership Camp batch pertama di Turki. Puluhan anak muda dari tiga benua telah pulang dengan semangat baru.
Samiya pun hadir malam itu—bukan lagi sebagai sosok yang ditunggu, tapi sebagai istri yang membersamai langkah. Ia tersenyum dari kejauhan, membawa secangkir teh untuk Yudis, lalu kembali ke ruang tamu tempat ia menemani adik-adik mahasiswa Muslimah berdiskusi.
“Dulu kita berangkat dengan tangan kosong,” kata Iskandar, menatap langit.
“Sekarang, kita punya perusahaan, komunitas, bahkan keluarga besar.”
“Yang lebih besar dari itu semua,” sahut Kamil, “kita punya keberanian untuk tidak tergesa… dan tetap istiqamah.”
Randito menambahkan, “Dan sekarang, kita sadar: manasik itu bukan hanya urusan haji. Tapi proses memanusiakan cinta, memurnikan niat, dan menata hidup dengan iman.”
Yudis tersenyum kecil. Ia tidak banyak bicara malam itu. Tapi dalam hatinya ia mengucapkan kalimat yang dulu sering ia tulis diam-diam:
“Ya Allah, aku tidak tahu bagaimana Kau menuntunku sejauh ini.
Tapi aku tahu, cinta yang Engkau ajarkan bukan tentang siapa yang paling cepat datang,
tapi siapa yang tetap tinggal… dengan taqwa.”
Manasik Cinta bukan sekadar judul,
tapi cara hidup.
Bersama sahabat yang setia.
Bersama cinta yang disimpan dalam sabar.
Bersama tujuan yang ditanam dalam iman.
Manasik Itu Sepanjang Usia
Waktu terus berjalan.
Pandemi sudah menjadi cerita.
Perusahaan mereka telah kembali pulih, bahkan berkembang perlahan.
Beberapa cabang bisnis kecil mulai bangkit, dan program Manasik Cinta menjadi agenda tahunan yang dinanti.
Tapi lebih dari semua pencapaian itu,
yang paling kuat adalah persaudaraan mereka.
Mereka sudah melewati banyak hal:
Hijrah, cinta yang tertunda, bisnis yang tumbang, janji yang diuji,
dan akhirnya—satu demi satu, mimpi mereka diwujudkan dengan cara yang tak pernah mereka duga.
Pernikahan Yudis dan Samiya bukan akhir dari cerita,
melainkan permulaan dari perjalanan baru.
Kini mereka bukan hanya lima sahabat pejuang,
tapi juga keluarga besar yang saling menguatkan—di dunia, dan kelak di akhirat.
Iskandar tetap menulis, kini lebih dalam dan spiritual.
Kamil memimpin perusahaan dengan tenang.
Rizki membangun madrasah online lintas negara.
Randito menjadi pembicara lintas benua.
Dan Yudis? Ia kini suami, ayah, dan guru kecil di rumahnya sendiri.
Di akhir sebuah musim haji yang sunyi dan sakral,
Yudis menulis satu kalimat di secarik kertas,
lalu menempelkannya di dinding ruang kerja kecilnya:
“Cinta tak butuh alasan, hanya keikhlasan.”
Manasik cinta itu bukan soal bagaimana kita sampai ke Ka’bah,
tapi bagaimana kita berjalan kepada-Nya… bersama.”
Dan begitulah,
kisah ini ditutup bukan dengan titik.
Tapi dengan harapan…
Bahwa siapa pun yang membacanya, akan menemukan manasik cinta mereka sendiri.
“Manasik Cinta lahir bukan dari imajinasi semata, tapi dari perjalanan nyata—tentang persahabatan, perjuangan, dan cinta yang tidak tergesa. Saat pandemi memaksa dunia diam, kami justru bergerak. Dari Jakarta ke Istanbul, dari Jeddah ke Makkah, bersama sahabat-sahabat yang luar biasa, kami membangun bisnis halal lintas negara… dan tanpa diduga, juga membangun cinta yang tak biasa.
Novel ini bukan sekadar kisah cinta antara Yudis dan Samiya. Ini tentang seorang pemuda yang memilih sabar, meski cinta itu belum bisa ia miliki. Tentang seorang wanita muda yang belajar bertumbuh dalam diam. Tentang lima sahabat yang percaya bahwa bisnis bisa lahir dari iman, dan cinta bisa dijaga dengan adab.
Manasik Cinta adalah refleksi kita semua. Tentang bagaimana menunggu dengan iman lebih indah daripada mendapatkan dengan tergesa. Tentang bagaimana hijrah tidak selalu berarti pindah tempat, tapi bertumbuh bersama arah yang benar.”
Tentang Penulis
Iskandar Yusuf Anwar
Iskandar Yusuf Anwar adalah penulis, produser film religi, dan manajer kreatif untuk para dai serta artis hijrah di Indonesia. Kiprahnya dalam dunia dakwah, media, dan sosial menjadikannya sosok yang tak hanya aktif di balik layar, tapi juga berperan dalam menyebarkan nilai-nilai spiritual ke berbagai lapisan masyarakat.
Lahir dan besar di Indonesia, Iskandar telah lama mengabdi dalam proyek-proyek dakwah kreatif, dari produksi film Islami, pengelolaan dakwah digital, hingga pembinaan komunitas muda hijrah. Saat pandemi melanda dunia, Iskandar bersama sahabat-sahabatnya membangun perusahaan spiritual lintas negara dari Turki hingga Arab Saudi, sebuah langkah nyata dalam mewujudkan visi Islam yang solutif dan global.
Manasik Cinta adalah karya fiksi perdananya dalam bentuk novel yang terinspirasi dari kisah nyata, pengalaman pribadi, serta semangat sahabat-sahabatnya dalam menata cinta dan cita di jalan Allah. Lewat novel ini, ia ingin menyampaikan bahwa cinta tidak harus gegabah, persahabatan bisa menjadi wasilah surga, dan hijrah sejati bukan soal pindah tempat—tapi tentang bertumbuh bersama nilai.
“Saya menulis novel ini bukan untuk menggurui, tapi untuk mengajak kita semua menundukkan cinta kepada yang menciptakan cinta itu sendiri.”
— Iskandar Yusuf Anwar