Malam itu, setelah panggilan telepon dari ibunya, Fajar duduk diam di depan jendela flat mereka. Jalanan Jabal Amman yang biasanya menenangkan, kini terasa asing. Suara azan dari kejauhan terdengar sayup, seolah menggema jauh ke dalam dadanya.
Danu duduk di sebelahnya tanpa banyak kata.
“Bro… kamu harus pulang kalau memang perlu,” bisik Danu pelan.
Fajar hanya menghela napas panjang. “Tapi Nu, tabungan kita pas-pasan. Uang hasil jualan saja baru cukup untuk bayar sewa flat bulan depan. Kalau aku pakai untuk tiket pulang, semua ini bisa berhenti…”
Diam sesaat. Fajar menunduk. Ada air mata yang jatuh di pipinya—air mata yang sudah lama ia tahan.
💡 Keesokan paginya, Layla datang ke flat mereka membawa sepiring kue bolu yang dia buat sendiri.
“Aku dengar kabar dari Danu… aku turut sedih, Mas Fajar,” katanya lembut.
Ia duduk di karpet sederhana mereka, menjaga jarak dengan sopan, dan melanjutkan:
“Mas, aku percaya rezeki itu nggak akan tertukar. Kalau harus pulang, pulanglah. Semua bisa diatur nanti. Kalau perlu, aku bantu urus stand di bazar berikutnya.”
Kata-kata Layla sederhana, tapi terasa tulus.
🌿 Sore harinya, Hanin pun menyempatkan diri menemui Fajar di tangga flat.
Dalam bahasa Arabnya yang lembut ia berkata:
“Aku kehilangan suami dalam perang Suriah. Saat itu aku tidak bisa pulang… aku tahu betapa rasanya tidak bisa menemani keluarga di saat-saat terakhir. Kalau kau punya kesempatan, pulanglah, Fajar… pulanglah.”
Hanin meninggalkan Fajar yang semakin bimbang tapi mulai merasa hatinya condong pada satu keputusan.
🌇 Dan saat senja tiba, pintu flat mereka diketuk perlahan.
Ternyata Pak Kamil datang, ditemani Pak Yudis dan istrinya Samiya. Kali ini mereka tidak hanya bertiga melainkan nampak hadir seseorang yang asing bagi Fajar, penampilannya bersahaja dengan perawakan tinggi sedang, ia adalah Pak Randito yang merupakan partner representatif dari salah satu perusahaan maskapai di Jordan, JAV Jordan Aviation.
Wajah beliau penuh keteduhan. Tanpa basa-basi panjang, ia berkata dengan suara rendah tapi penuh wibawa:
“Fajar… saya mendengar ceritamu dari Layla. Saya juga seorang ayah. Saya tahu… ini saatmu pulang. Jangan pikirkan ongkosnya. Saya sudah siapkan tiket untukmu. Anggap saja ini hadiah kecil dari Kakak untuk adik-adik yang sedang berjuang di tanah orang.
“Kebetulan Pesawat milik perusahaan kami akan terbang perdana ke Jakarta besok. Insya Allah ini rezeki kamu Fajar, dan berkah untuk Jordan Aviation”
Fajar tercekat. Matanya berkaca-kaca. Danu yang berdiri di sampingnya juga menahan haru.
“Pak… saya… tidak tahu harus bilang apa…,” ucap Fajar terbata.
Pak Randito menepuk bahunya dengan senyum bijak,
“Tidak perlu bilang apa-apa, Dik. Pulanglah, temui ayahmu. Kami semua di sini akan menjaga usaha kecilmu. Layla, Danu, bahkan Hanin… mereka semua siap mendukung. dan tolong do’akan kami”
🌌 Malam itu, sebelum tidur, Fajar berdoa panjang.
Doa yang mungkin lebih panjang dari biasanya. Ia tidak lagi berdoa sekadar meminta kemudahan, tapi juga berterima kasih: karena di negeri rantau ini, ia tidak benar-benar sendirian.
Langit Amman tetap kelabu, tetapi di hatinya ada cahaya yang terang. Cahaya dari keikhlasan, dukungan orang-orang baik, dan persahabatan yang tumbuh dalam ketulusan.
Besok pagi ia akan terbang pulang. Meski sebentar, ia akan menemani ayahnya, sang guru pertama yang mengenalkannya pada dunia ini.