Empat pekan setelah pemakaman ayahnya, sebelum terbit fajar hari itu Fajar berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Bumi Syam menggunakan Pesawat Jordan Aviation yang hari itu membawa rombongan jamaah Umrah Plus Al-Aqsa.
Di malam yang teduh Fajar menginjakkan kaki di Queen Alia International Airport, Amman. Rasanya berbeda: kali ini ia pulang ke tanah rantau dengan janji yang terpatri di dada, janji kepada almarhum ayahnya.
Saat keluar dari pintu kedatangan, sudah berdiri Danu dengan jaket tebalnya. Wajahnya cerah dan penuh semangat.
“Brooo… welcome back!” seru Danu sambil menepuk bahu Fajar keras-keras.
Fajar tersenyum lega. Ia merasa seperti pulang ke rumah kedua.
🏠 Di flat sederhana mereka
Flat itu ternyata sudah lebih rapi dari sebelumnya. Danu, Layla, dan beberapa teman komunitas rupanya sudah membersihkannya sebelum Fajar datang.
Di atas meja kecil, ada beberapa catatan dari Layla:
“Mas Fajar, selama Mas pulang, pesanan tetap jalan… aku dan teman-teman bantu atur distribusi bakso frozen. Danu juga rajin banget masak di dapur ini! Kopi Nusantara Amman aman terkendali kok 😄”.
Fajar tertawa pelan. Perasaan haru memenuhi dadanya: ternyata tanpa kehadirannya pun, orang-orang ini dengan tulus menjaga apa yang dia mulai.
🌿 Hari pertama kembali bekerja di Café Ar Riwaq
Abu Samir menyambut Fajar dengan pelukan ringan, sebuah gestur yang tidak biasa di kalangan orang Jordan, tanda kedekatan mereka yang sudah lebih dari sekadar pekerja dan majikan.
“Selamat datang kembali, Fajar… café ini terasa lebih sepi tanpa senyummu beberapa hari ini,” katanya dengan nada hangat.
Pelanggan tetap juga menyapa, beberapa dari mereka yang dulu hanya sekedar menyuruh kini tersenyum tulus ketika menerima teh mint dari tangan Fajar.
💡 Pertemuan hangat dengan Hanin
Di sore harinya, saat Fajar sedang duduk sendiri di tangga flat sambil menikmati secangkir kopi, Hanin datang membawa roti hangat.
“Saya mendengar kabar tentang ayahmu,” kata Hanin perlahan dalam bahasa Arab.
“Semoga Allah merahmati beliau…”
Fajar mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Syukran, Hanin… aku merasa kembali disambut baik di sini.”
Hanin duduk sejenak di anak tangga sebelah, tetap menjaga jarak sesuai adat, tapi kehadirannya cukup untuk membuat Fajar merasa tidak benar-benar sendiri.
🌇 Sore itu, di ruang kecil flat mereka, Danu menyodorkan buku catatan berisi data penjualan selama Fajar pergi.
“Bro, kamu nggak bakal nyangka… selama kamu pulang, pesanan makin banyak! Bahkan ada permintaan dari dosen kampus buat kita sediakan menu camilan Nusantara di acara seminar minggu depan,” kata Danu dengan semangat.
Fajar hanya bisa tertawa lega, “Subhanallah… Allah kasih jalan ya Nu… meski aku sempat pergi sebentar, usaha ini justru makin tumbuh.”
Mereka berdua duduk di karpet tipis itu, menyeruput teh mint. Flat sempit di Jabal Amman itu mungkin sederhana, tapi malam itu rasanya lebih hangat dari sebelumnya.
Fajar sadar satu hal penting: negeri rantau ini, dengan segala susah payahnya, dengan segala orang-orang baik di dalamnya, sudah menjadi rumah kedua baginya. Tempat ia bertumbuh, tempat ia mengukir mimpi, tempat ia belajar menjadi manusia seutuhnya.