Senja turun pelan di Amman, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Udara dingin semakin menusuk saat Fajar dan Danu berjalan kaki menuju kompleks Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Di sepanjang jalan, suara klakson kendaraan dan aroma roti pita dari kios pinggir jalan sesekali menyapa langkah mereka.
Kegiatan pengajian ini rutin diadakan oleh komunitas mahasiswa Indonesia. Suasananya selalu akrab meski terpisah antara ikhwan dan akhwat. Bagi banyak perantau, kegiatan seperti ini jadi momen melepas rindu, bertemu teman sebangsa, makan makanan Indonesia, dan mengisi ulang semangat yang kadang goyah.
Di halaman KBRI yang luas, kursi plastik sudah ditata rapi. Tenda sederhana menaungi peserta, sementara petugas kedutaan sibuk menyiapkan logistik. Meja berisi kotak-kotak nasi rendang kiriman seorang ibu diaspora di Irbid tampak menggoda dari kejauhan.
Fajar dan Danu duduk di barisan tengah. Di bagian depan, seorang ustadz dengan outfit sederhana dan kopiah hitam khasnya rapi sudah siap menyampaikan tausiyah. Wajahnya teduh, senyumnya hangat. Moderator memperkenalkan beliau:
“Hadirin sekalian, malam ini kita beruntung sekali karena narasumber kita adalah Ustadz Iskandar, beliau seorang ustadz muda yang sedang safari dakwah di Timur Tengah dan dikenal dengan gaya ceramahnya yang menyentuh hati.”
Tepuk tangan kecil terdengar.
Fajar memperhatikan Ustadz Iskandar yang berdiri tenang. Saat mulai berbicara, suaranya dalam dan penuh kelembutan:
“Teman-teman mahasiswa sekalian… hidup di tanah rantau memang penuh ujian. Kadang kita merasa sendiri. Kadang kita merasa rindu pada tanah air, orang tua, dan kehangatan rumah. Tapi ingatlah, justru di sinilah Allah sedang melatih kita. Agar kita kuat, agar kita layak pulang nanti sebagai manusia yang lebih matang…”
Kata-katanya seakan menembus dada Fajar. Pesan WhatsApp ibunya yang sederhana kembali muncul dalam pikirannya: ayah sakit, keluarga kesulitan ekonomi, dan dirinya tak bisa segera pulang.
Ustadz Iskandar melanjutkan dengan nada penuh kasih:
“Rantau ini bukan tempat berkeluh kesah… tapi tempat belajar bersyukur dan bersabar. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ pernah diasingkan, pernah hijrah… dan beliau tidak hanya bertahan, tapi membawa cahaya. Maka kita juga harus bisa. Kalian bukan sekadar mahasiswa di sini, tapi juga duta-duta kebaikan untuk bangsa kita.”
Air mata Fajar menetes diam-diam. Danu menepuk bahunya pelan. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangguk seolah berkata: “Aku juga merasakan yang sama, Bro.”
Acara selesai dengan doa yang khusyuk. Sebelum pulang, Layla menyempatkan diri menyapa dari kejauhan—tetap menjaga jarak, tetap dalam batas yang wajar—dan sekadar berkata, “Semangat terus ya, Mas Fajar.”
Di perjalanan pulang, Fajar merasa hatinya sedikit lebih ringan. Langit Amman malam itu cerah bertabur bintang. Angin masih dingin, tapi hatinya hangat.
Ia tahu: meski banyak ujian menanti, Allah selalu memberi cara agar ia tetap bertahan—dan malam ini, salah satunya melalui nasihat lembut dari Ustadz Iskandar.