Keesokan harinya, Amman diselimuti kabut dingin. Fajar berdiri di depan cermin kecil di flatnya. Matanya sedikit bengkak, tapi hatinya terasa berbeda: ada semangat baru yang lahir dari pengajian semalam.
Setelah selesai salat subuh berjamaah bersama Danu, ia memutuskan duduk sebentar menatap pesan WhatsApp terakhir dari ibunya. Kalimat sederhana itu seperti terus bergema:
“Jaga dirimu baik-baik di sana…”
Seketika sebuah ide muncul di benaknya. Ia ingat percakapan beberapa teman kemarin: di salah satu kedai kopi di Rainbow Street, ada lowongan untuk barista paruh waktu. Tempat itu populer di kalangan anak muda Jordan—bukan sekadar kafe, tapi juga ruang diskusi seni dan budaya. Meski mungkin tak seberapa bayarannya, setidaknya cukup untuk membantu biaya sehari-hari.
“Nu, aku mau coba daftar kerja di Café Ar Riwaq. Mungkin bisa bantu sedikit buat hidup kita di sini,” kata Fajar sambil merapikan jaket usang favoritnya.
Danu tersenyum mendukung. “Good idea, bro. Aku ikut antar ya, biar sekalian mampir beli roti Syam di pojokan situ.”
Siang hari, Rainbow Street
Rainbow Street selalu hidup dengan energi yang khas: campuran pengunjung lokal, turis, seniman jalanan, dan aroma kopi Arab yang khas. Bangunan-bangunan tua berjejer dengan grafiti warna-warni di dindingnya.
Café Ar Riwaq menempati sudut strategis di jalan itu—eksteriornya sederhana tapi hangat. Pelanggan datang silih berganti, mulai dari mahasiswa hingga dosen yang duduk membaca.
Fajar masuk dengan hati berdebar. Pemilik kafe, seorang lelaki paruh baya berwajah ramah bernama Abu Samir, menerima dia dengan senyum hangat.
“Min Indonesia?” tanya Abu Samir dengan bahasa Arab bercampur Inggris.
“Na‘am… dari Indonesia, saya mahasiswa Universitas Yordania,” jawab Fajar dengan logat Arab klasik yang kaku tapi sopan.
Abu Samir tertawa kecil. “Ahlan wa sahlan! Banyak orang Indonesia yang saya suka… baik-baik. Kau bisa mulai esok hari kalau mau. Gajinya tak besar, tapi cukup buat teh mint dan roti harianmu.”
Fajar tertawa lega. “Syukran jazilan, Abu Samir.”
Malamnya di flat
Danu sedang duduk di lantai dengan laptop terbuka, sibuk menulis laporan tugasnya. Fajar baru saja pulang membawa dua kantong plastik berisi roti Syam, hummus, dan sedikit keju putih—bonus dari Abu Samir.
“Bro… ini awal baru kita,” ucap Fajar sambil duduk di karpet tipis mereka.
Danu mengangguk. “Iya, jalani saja dulu. Allah pasti kasih jalan asal kita nggak menyerah.”
Di luar, langit Amman kembali kelabu. Angin malam membawa hawa dingin yang menusuk. Tapi di dalam flat sempit itu, ada rasa hangat yang mulai tumbuh: keyakinan bahwa mereka akan baik-baik saja, seberat apa pun perjalanan ini.