Hari pertama Fajar bekerja di Café Ar Riwaq disambut pagi cerah langka. Meski udara masih dingin, matahari memantul indah di jendela-jendela toko tua Rainbow Street. Aroma kopi Arab, yang dikenal sebagai qahwa, memenuhi udara, bercampur wangi rempah khas cardamom.
Abu Samir mengenalkan Fajar pada rutinitas sederhana: meracik kopi Arab dengan cara tradisional, membersihkan meja, menyapa pelanggan dengan ramah, dan… tersenyum, selalu tersenyum.
Fajar berusaha keras. Tangannya sempat gugup ketika menuang kopi ke dalam cangkir kecil porselen putih. Namun pelanggan pertama, seorang lelaki tua berwajah tenang dengan kafiyeh merah di kepalanya, hanya tertawa pelan.
“Ma fi musykilah… pertama kali pasti begitu,” katanya ramah.
Fajar terkejut dengan keramahan itu. Lelaki itu ternyata seorang profesor sejarah Universitas Yordania, pelanggan tetap Café Ar Riwaq.
Saat jeda sore, Fajar berdiri sebentar di depan kafe. Rainbow Street mulai ramai. Orang-orang duduk di bangku trotoar sambil menyeruput teh mint. Anak-anak muda Jordan berdiskusi sambil merokok shisha. Suasananya penuh warna tapi tetap tertib.
Layla tiba-tiba muncul, bersama beberapa teman mahasiswa Indonesia lainnya. Mereka membawa bendera kecil Merah Putih—rupanya ada rencana untuk gathering kecil komunitas mahasiswa di akhir pekan.
“Mas Fajar, kerja di sini ya sekarang?” tanya Layla sambil tersenyum ramah.
Fajar mengangguk. “Iya, baru mulai tadi pagi. Lumayan kan, biar nggak terus mikir masalah.”
Layla tertawa kecil. “Semangat ya Mas! Kalau butuh bantuan, bilang saja. Kami di komunitas PPI siap bantu kok. Jangan sungkan.”
Malamnya di flat
Setelah selesai shift pertamanya, Fajar berjalan pulang melewati gang sempit menuju flat tua di Jabal Amman. Danu sudah menunggu sambil membaca buku, tampaknya puas karena berhasil menyelesaikan tugas kuliahnya hari ini.
Di depan pintu flat, ada sekotak kecil kue baklava dan selembar kertas bertuliskan huruf Arab yang indah:
“Untuk Fajar dan Danu, semoga manisnya rezeki ini menyertai kalian. Dari Hanin.”
Fajar tertegun sejenak.
Danu ikut membaca, lalu tertawa. “Bro, kayaknya tetangga kita makin peduli aja nih. Hanin tuh baik ya… nggak banyak ngomong tapi perhatian.”
Fajar tersenyum, tapi dalam hatinya ada getaran hangat. Hanin, tetangga yang selama ini hanya sebatas senyum singkat di tangga, ternyata memperhatikan. Diam-diam.
Malam itu, mereka makan sederhana: roti Syam, hummus, teh mint, dan beberapa potong baklava hadiah dari Hanin.
Fajar menatap ke luar jendela flatnya: langit Amman berbintang terang. Perasaan asing, sepi, dan sulit perlahan mulai berganti jadi rasa “ada rumah” — meski sederhana, meski jauh dari kampung halaman.