Malam setelah Hari Budaya Indonesia, suasana flat kecil Fajar dan Danu penuh semangat baru. Di meja sederhana mereka, tergeletak kartu undangan bertuliskan tangan rapi:
“Untuk Fajar dan Danu, mari mampir makan malam sederhana besok. Ingin berbagi cerita dengan kalian. Salam, Kamilul Khuluq, Homsa Global.”
Danu hampir tak percaya. “Bro… kita diundang langsung oleh orang sebesar beliau… ini luar biasa!”
Fajar hanya tersenyum, tapi dalam hatinya bergetar. Bagaimana bisa seorang mahasiswa biasa, yang kerja paruh waktu di café, tiba-tiba diperhatikan oleh seorang pengusaha sukses lintas negara?
🌙 Keesokan malamnya
Mereka tiba di rumah dinas KBRI, tempat Pak Kamil menginap sementara. Rumah itu tidak terlalu besar tapi terasa hangat dan nyaman. Di halaman, Pak Kamil sendiri yang menyambut mereka dengan senyum lebar.
“Silakan masuk, kawan-kawan… saya sudah siapkan makanan sederhana saja. Kita makan sambil ngobrol ya,” katanya.
Di ruang tamu yang tertata apik, sudah duduk Pak Yudis bersama istrinya Samiya, yang menyambut Fajar dan Danu dengan hangat. Samiya bahkan menyajikan teh mint hangat dengan tangan sendiri—keramahannya membuat Fajar merasa sangat dihargai.
Setelah hidangan sederhana tersaji—nasi mandi, ayam panggang Arab, dan salad segar—mereka duduk melingkar, santai.
Pak Kamil mulai bercerita:
“Kami dulu juga seperti kalian… hidup prihatin di negeri orang. Banyak suka dukanya. Tapi kami tidak pernah malu, karena kami tahu… siapa pun yang mau kerja keras, pasti ada jalannya.”
Ia berhenti sejenak, lalu memandang Fajar dengan lembut.
“Kalian harus belajar melihat peluang. Di sini, orang Jordan sangat menghargai budaya. Kamu kerja di café, kan? Itu bagus… berarti kamu sudah mulai masuk ke masyarakat lokal. Tapi jangan berhenti di situ. Belajar, catat, siapa pelangganmu… siapa yang mungkin butuh jasa lain: jasa bahasa Indonesia, kurir, jastip barang khas Indonesia… apa saja.”
Danu dan Fajar terdiam, mencerna setiap kata.
Pak Yudis ikut menimpali:
“Saya dulu juga begitu, Fajar… saya mulai bisnis kecil-kecilan di Istanbul sambil kuliah. Hijrah ke Jeddah Sampai akhirnya Allah pertemukan saya dengan Samiya, istri saya sekarang. Semua berawal dari keberanian untuk membuka diri dan bekerja keras.”
Samiya tersenyum dan berkata dalam bahasa Arab yang lembut, tapi bisa dimengerti Fajar:
“Jangan takut jatuh… orang yang jatuh lebih banyak punya pelajaran hidup.”
🌌 Setelah pertemuan itu
Saat mereka berjalan pulang melewati jalanan malam Jabal Amman yang sepi, Fajar merasakan hal baru: harapan.
Danu berkata pelan, “Bro, aku jadi pengen kita mulai sesuatu juga ya… siapa tahu kita bisa buka usaha kecil di sini. Aku punya ide nanti kita bahas di flat.”
Fajar mengangguk. Ia menatap langit Amman yang bertabur bintang. Suasana malam tetap dingin, tapi kata-kata Pak Kamil, senyum ramah Yudis, dan kebaikan Samiya sudah menghangatkan hatinya.
Di rantau ini, mereka memang bukan siapa-siapa…
Tapi malam itu Fajar sadar:
Bukan siapa-siapanya yang penting… tapi siapa yang mau berjuang dengan tulus.