Malam itu, flat sempit Fajar dan Danu yang biasanya hanya terisi bunyi laptop dan percikan air dari dapur, kini berubah jadi “ruang rapat” darurat. Di atas karpet tipis mereka, terbentang kertas-kertas coretan ide.
“Bro… aku serius nih,” kata Danu sambil menulis dengan spidol hitam di selembar kertas.
“Rencana usaha:
1️⃣ Jual makanan ringan Indonesia (bakso frozen, kripik) ke mahasiswa asing
2️⃣ Jasa bimbingan bahasa Indonesia untuk warga lokal
3️⃣ Jastip barang-barang unik Jordan untuk teman-teman di Indonesia.”
Fajar tersenyum. “Aku suka idenya. Modal kecil, tapi bisa jalan. Apalagi aku kerja di café, banyak pelanggan yang sebenarnya penasaran dengan budaya kita.”
Mereka mulai menyusun daftar barang yang bisa dijual, bahkan sudah memikirkan nama sederhana: “Kopi Nusantara Amman”, sebuah label kecil untuk memulai semuanya.
🌼 Keesokan harinya, kejutan datang dari Hanin.
Saat Fajar baru pulang kerja, Hanin berdiri di depan pintu flat mereka, membawa dua piring besar.
“Selamat sore… ini untuk kalian. Maaf, aku overheard kalian berdiskusi semalam… rencana kalian bagus. Aku ada teman di Downtown Amman yang bisa bantu urusan izin dagang kecil. Kalau butuh kontaknya, aku bisa kenalkan.”
Fajar tertegun. Hanin selama ini hanya tetangga yang saling menyapa sekilas. Tapi hari itu, dia menawarkan bantuan yang nyata—dengan cara yang sopan dan sesuai budaya.
“Syukran jazilan, Hanin… aku terharu,” kata Fajar tulus.
Hanin hanya tersenyum lembut lalu berlalu ke flatnya, meninggalkan wangi roti zatar hangat yang ia bawa.
🌀 Konflik baru mulai muncul.
Ketika Fajar dan Danu pergi ke Downtown Amman untuk bertemu kontak yang direkomendasikan Hanin—seorang pemilik toko kelontong tua bernama Abu Fawzi—mereka menyadari bahwa urusan izin usaha tidak semudah yang mereka kira.
“Kamu perlu izin dari baladiyah (municipal), surat keterangan domisili, dan rekomendasi KBRI kalau kamu orang asing,” kata Abu Fawzi sambil menyeruput kopinya.
Wajah Fajar agak surut. “Wah Nu, aku kira cukup daftar saja. Ternyata birokrasi juga ketat ya di sini.”
Danu menepuk bahu Fajar. “Ya namanya juga negara orang, bro. Kita harus sabar. Kalau perlu kita tanya Layla, dia kan aktif di komunitas mahasiswa, mungkin dia bisa bantu.”
🌙 Malam itu di flat
Fajar duduk termenung di dekat jendela. Jalan mereka tidak mudah, tapi ada hal yang berbeda kini: mereka tidak sendirian lagi. Ada orang-orang baik di sekitar mereka: Layla, Hanin, Abu Samir, bahkan inspirasi yang baru saja datang dari Pak Haji Kamil dan Pak Yudis.
Danu berkata sambil menyeruput teh mint hangat, “Bro, aku percaya… lambat atau cepat, ini semua akan ada jalannya. Kita jalani saja… bareng-bareng.”
Fajar mengangguk. Di luar jendela, langit Amman kelabu seperti biasa. Tapi di dadanya, ada cahaya kecil yang mulai menyala terang.