RASIONALIS.COM – Persoalan truk Over Dimension Over Loading (ODOL) kembali mencuat ke permukaan sebagai cerminan dari carut-marut sistem logistik nasional. Meski pemerintah telah menggulirkan kebijakan “Zero ODOL” yang ditargetkan berlaku penuh tahun ini, pelaksanaannya justru memantik gelombang protes dari para sopir truk yang merasa disudutkan secara sepihak. 27/6/25
Kebijakan Zero ODOL menargetkan penghapusan praktik kelebihan muatan dan modifikasi dimensi truk yang dinilai menyebabkan kerugian negara hingga Rp43 triliun per tahun akibat kerusakan jalan dan menyumbang lebih dari 10% kecelakaan lalu lintas. Namun, framing ini secara sepihak menggambarkan sopir sebagai aktor utama pelanggaran, tanpa menyentuh akar struktural persoalan yang sebenarnya berada di hulu rantai logistik.
Faktanya, para sopir tidak memiliki kuasa atas dimensi kendaraan atau volume muatan. Mereka hanya pelaksana kebijakan dan target keuntungan dari pemilik barang dan perusahaan logistik. Rendahnya tarif angkut yang tidak diatur pemerintah membuat para pengusaha menekan biaya operasional semaksimal mungkin dan para sopir menjadi korban pertama. Upah yang mereka terima rata-rata hanya Rp1,5–2,5 juta per bulan, jauh dari layak untuk risiko dan beban kerja yang mereka emban.
Protes masif pada 19–23 Juni 2025 lalu di Semarang, Surabaya, dan Bandung menunjukkan keresahan mendalam. Spanduk-spanduk bertuliskan “Sopir Bukan Kriminal” menjadi simbol dari perlawanan terhadap kebijakan yang dirasa tidak adil. Demonstrasi serupa direncanakan akan berlangsung di Jakarta awal Juli mendatang, dengan potensi dampak lebih luas terhadap rantai pasok dan harga kebutuhan pokok di berbagai daerah.
LBH Sarbumusi melalui Departemen Kajian menilai bahwa permasalahan ODOL adalah konsekuensi dari sistem logistik nasional yang timpang, bukan semata pelanggaran oleh individu sopir. Ada beberapa faktor yang memperparah keadaan, keterbatasan armada logistik mendorong perusahaan melakukan modifikasi truk agar bisa mengangkut lebih banyak barang, lemahnya perlindungan hukum dan jaminan sosial bagi sopir serta maraknya praktik pungli dan premanisme yang makin membebani mereka di lapangan.
Ironisnya, dalam praktik penegakan hukum, sopir justru menjadi pihak yang paling sering dikriminalisasi. Sementara aktor dominan seperti pemilik barang dan perusahaan logistik cenderung lolos dari jerat hukum. Ketimpangan ini semakin terlihat saat beberapa Polda bahkan menunda pemberlakuan sanksi pidana karena memahami bahwa respons keras terhadap sopir justru memperkeruh keadaan.
LBH Sarbumusi menegaskan bahwa masalah ODOL harus dibaca sebagai panggilan untuk mereformasi total sistem logistik nasional. Dibutuhkan kehadiran negara yang berpihak tidak hanya dalam bentuk penertiban, tetapi juga regulasi tarif logistik yang adil, perlindungan terhadap tenaga kerja, dan penegakan hukum yang menyentuh semua level pelaku, termasuk pengusaha besar.
Upaya pemerintah seperti rencana Peraturan Presiden dan Surat Keputusan Bersama antarkementerian adalah langkah positif, namun tak boleh berhenti pada respons normatif. Selama framing media dan kebijakan hanya menyasar sopir, maka penyelesaian struktural akan terus tertunda dan gejolak sosial di lapangan akan terus berulang.
“ODOL bukan hanya tentang pelanggaran teknis, tapi potret ketidakadilan dalam sistem logistik kita. Menyalahkan sopir saja adalah bentuk pengalihan isu yang keliru dan membahayakan solidaritas sosial terhadap jutaan pekerja logistik di negeri ini,” tegas Brahma Aryana dari LBH Sarbumusi.