RASIONALIS.COM – Di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang semakin meluas di berbagai sektor industri Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (LBH Sarbumusi) menyampaikan kritik tajam terhadap langkah pemerintah yang membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN). Langkah tersebut dinilai sebagai tindakan populis yang tidak menyentuh akar persoalan krisis ketenagakerjaan nasional.19/6/25
Data terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) per Mei 2025 mencatat 26.455 kasus PHK, dengan Jawa Tengah sebagai provinsi tertinggi. Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat angka lebih besar, yakni 73.992 kasus hingga Maret 2025, dan memproyeksikan akan mencapai lebih dari 250.000 kasus PHK sepanjang tahun ini. Jumlah klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) juga melonjak signifikan, dengan rata-rata 13.210 klaim per bulan menurut data Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) hingga April 2025.
Krisis PHK Bukan Sekadar Angka, Tapi Dampak Sistemik
LBH Sarbumusi menilai krisis ini bukan semata persoalan statistik, melainkan menyangkut dampak sistemik yang menggerus kepercayaan publik terhadap negara. Bank Indonesia pun mengingatkan bahwa tren PHK ini bisa menjadi rem darurat bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun alih-alih memperkuat kelembagaan dan sistem perlindungan kerja yang sudah ada, pemerintah dinilai justru bersikap reaktif dengan membentuk entitas baru tanpa arah yang jelas. LBH Sarbumusi merilis sembilan catatan evaluatif terhadap kebijakan tersebut, mulai dari sindrom “satganisasi”, tumpang tindih kelembagaan, hingga potensi pembentukan instrumen politik yang melemahkan gerakan buruh.
Sembilan Catatan Kritis LBH Sarbumusi:
Sindrom Satgas dan Ketidakpercayaan Diri Pemerintah: Pembentukan Satgas PHK mencerminkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap struktur birokrasi ketenagakerjaan yang sudah ada, terutama Kemenaker yang memiliki perangkat hingga ke daerah.
Redundansi dan Tumpang Tindih Kewenangan DKBN dan Satgas PHK tumpang tindih dengan lembaga seperti Dewan Pengupahan dan Pengawas Ketenagakerjaan, justru memperburuk efisiensi birokrasi.
Tak Menyentuh Akar Masalah: Kebijakan pasca-Omnibus Law dan lemahnya skema JKP menjadi penyebab utama krisis PHK, namun tidak disentuh oleh pembentukan Satgas maupun DKBN.
Memperpanjang Birokrasi: Penambahan lembaga baru memperpanjang jalur penyelesaian masalah, bertentangan dengan prinsip efisiensi pelayanan publik.
Pengaburan Tanggung Jawab Negara: Tanggung jawab terhadap kesejahteraan buruh dialihkan ke forum ad hoc yang rentan tidak akuntabel.
Butuh Reformasi Struktural: Solusi sejati ada pada perombakan sistem pengupahan, jaminan sosial, dan pengawasan ketenagakerjaan, bukan tambal sulam simbolik.
Abaikan Kesehatan Mental Pekerja: Satgas tidak mempertimbangkan pendekatan psikososial terhadap korban PHK yang rentan mengalami trauma.
Menambah Deretan Lembaga Gagal: Pembentukan lembaga ad hoc dinilai berisiko memperpanjang daftar kegagalan lembaga negara yang tidak efektif.
Berpotensi Digunakan untuk Kepentingan Politik: Satgas dan DKBN rawan menjadi instrumen elite, bukan alat perjuangan buruh yang independen.
Desakan Reformasi dan Evaluasi Kebijakan
LBH Sarbumusi menegaskan bahwa pembentukan Satgas PHK dan DKBN mencerminkan defisit tata kelola kelembagaan dan semakin menjauhkan negara dari mandat konstitusional yang diatur dalam Pasal 27 (2), 28D (2), dan 28H (1) UUD 1945. Pemerintah didesak untuk segera mengevaluasi kebijakan ini dan mengutamakan penguatan Kemenaker, reformasi ketenagakerjaan yang substansial, serta perluasan jaring pengaman sosial yang memadai.
“Tanpa reformasi struktural yang mendalam dan keberanian politik untuk berpihak pada buruh, krisis PHK ini hanya akan memperdalam ketidakstabilan sosial dan memperlambat pemulihan ekonomi nasional,” tegas Brahma Aryana, dari Departemen Kajian LBH DPP K-Sarbumusi.