Pandemi COVID-19 melanda bumi seperti badai yang tak memilih korban. Bandara ditutup, panggung-panggung sepi, sekolah berubah menjadi layar datar, dan orang-orang belajar berjarak bahkan dari yang mereka cintai. Dunia seperti dilipat, dan waktu kehilangan arah, hari-hari serasa mencekam dari berita-berita duka tentang dampak pandemi global.
Namun justru di tengah kekacauan itulah, lima orang dari lima arah berbeda menemukan satu tujuan.
Iskandar – Jakarta
Di sebuah apartemen kecil di Jakarta Barat, Iskandar duduk termenung di depan laptop yang layarnya terbuka setengah. Naskah bukunya tentang Pola Keberuntungan Islami belum selesai. Produksi film dakwah yang sempat dibanggakannya terhenti. Dan jadwal roadshow para ustadz yang biasa ia kelola, dibatalkan.
Iskandar bukan sekadar penulis. Ia produser film religi, manajer ustadz-ustadz ternama, dan pengatur jadwal artis-artis hijrah. Tapi kini, jadwal kosong. Panggung-panggung ditutup. Agenda syuting ditunda.
Kala itu tak banyak yang bisa ia dilakukan selain kegiatan online dan kerja dari rumah (Work From Home alias WFH)
“Ya Allah… ini ujian kapan berlalu atau pintu lain yang belum kubuka?” bisiknya dalam hati.
Ia benar-benar berharap dunia kembali normal, banyak mimpi-mimpinya yang belum tercapai.
Ponselnya berbunyi khas notifikasi. Sebuah pesan masuk dari seseorang yang pernah ia kenal dari sebuah pelatihan leadership dua tahun lalu.
Notifikasi dari WhatsApp.
Yudis:
“Assalamu’alaikum Kanda, ayo ke Turki. Kita bangun sesuatu. Jangan nunggu normal yang entah kapan.”
Iskandar menatap pesan itu cukup lama. Hatinya bergetar. Seolah itulah jawaban dari istikharah malam-malam terakhirnya.
Kamil – Balikpapan
Di sudut rumah yang dipenuhi dokumen ekspor dan brosur pelatihan kewirausahaan syariah, Kamil baru saja menutup laptop setelah memimpin rapat virtual organisasi Pemuda Islam Kalimantan Timur. Ia dikenal sebagai pengusaha muda yang visioner. Tapi kini, ekspor produk halalnya terhenti, dan proyeknya menumpuk tanpa kepastian.
Notifikasi masuk dari grup kecil forum dakwah sosial politik :
Iskandar:
“Bang Kamil, Yudis ngajak ke Turki. Ini bisa jadi titik balik kita semua.”
Kamil terdiam sejenak. ia mengingat kenangan kebersamaannya dengan Iskandar beberapa tahun lalu saat sama-sama membantu perjuangan politik pemilihan umum Presiden RI.
Semangatnya muncul, dan mengetik balasan:
“Bismillah Bang. Oh dia sana kah, Kalau untuk ummat, aku ikut. Berjuang lagi kita. hehe” diiringi senyum tanda antusiasnya.
Rizki – Demak
Di tengah desa yang tenang di pinggiran Demak, Rizki mengajar anak-anak lewat speaker kecil dan papan tulis bekas. Walau dalam kondisi serta pembatasan protokol kesehatan Ia tetap aktif membina program literasi dan taman pendidikan online. Tapi kini, dukungan bantuan berkurang. Sponsor menahan dana. Dan ia mulai bertanya, “Apakah aku cukup berarti jika hanya di sini?”
Lalu sebuah pesan dari Randito masuk:
“Kiki, yuk bangun sesuatu yang bisa bantu lebih banyak orang. Yuk ke Turki.”
Rizki menatap langit-langit rumahnya yang rendah. Ia tersenyum kecil, lalu mengetik:
“Insya Allah. Demi yang lebih luas.”
Randito – Malang
Di balik layar webinar motivasi, Randito baru saja menyelesaikan sesi bersama ratusan peserta. “Bangkit di tengah pandemi!” katanya dengan semangat. Tapi ketika kamera mati, ia menyandarkan kepala dan menutup mata. “Motivator juga bisa kelelahan,” gumamnya.
Ia menginginkan lebih dari sekadar bicara. Ia ingin membangun. Membuktikan.
“Motivator pun bisa lelah,” ujarnya pelan. “Gue butuh ruang untuk benar-benar hidup, bukan cuma ngomongin hidup.”
Ia menelepon Iskandar. “Akhi, kalau ini memang jalannya… ana total. ana all in, Turki Im Coming.”
Yudis – Istanbul (Asal: Lampung)
Jauh di Istanbul, seorang pemuda Lampung bernama Yudis duduk di lantai dua restorannya, menatap jalanan yang perlahan kembali berdenyut. Restoran kecil miliknya bukan hanya tempat makan—tapi juga tempat diskusi, saling dukung, dan tempat rindu Indonesia ditambatkan oleh diaspora.
Ia baru selesai rapat online dengan komunitas pelajar Indonesia. Pandemi telah mengubah banyak hal, tapi Turki tetap membuka diri. Dan Yudis merasa… inilah saatnya.
Ia kirim satu pesan ke empat sahabatnya:
“Kita semua sibuk. Tapi ini saatnya kita sibuk bareng.
Turki belum tutup. Dunia boleh gelap, tapi kita bisa jadi cahaya kecil dari Istanbul.”
Lima sahabat. Lima kota. Lima latar cerita.
Disatukan oleh niat, bukan ambisi. Disatukan oleh iman, bukan tren.
Mereka tidak tahu bahwa langkah kecil itu akan menuntun mereka pada mimpi besar. Pada cinta yang tak biasa. Pada keputusan-keputusan yang akan mengubah hidup mereka.
Dan begitulah, lima sahabat itu akhirnya bertemu—bukan karena bisnis semata, tapi karena visi. Karena iman. Karena tak ingin jadi korban keadaan. Karena mereka percaya, takdir yang besar harus diperjuangkan bersama.
Dari pandemi, lahirlah pertemuan. Dari kekacauan, lahir harapan.
Dan itulah awal dari Manasik Cinta.