(Kepastian Tidak Selalu Berupa Jawaban Ya)
Yudis memutuskan kembali ke Jeddah. Ia tidak membawa cincin, tidak membawa proposal pernikahan, tidak membawa bunga seperti adegan sinetron. Ia hanya membawa tekad yang jernih dan satu koper kecil.
“Untuk apa ke sana, Kandaku?” tanya Rizki lewat video call dari Demak.
“Untuk menjernihkan arah. Bukan untuk mengikat. Tapi untuk tidak lagi mengambang.”
Iskandar dan Kamil mendukung penuh. Randito bahkan membantu menyusun skenario pendek bagaimana cara Yudis menyampaikan maksud dengan bijak, penuh adab, dan tetap menjaga perasaan semua pihak.
Kembali ke Mang Oedin: Sekarang, Bukan Kebetulan
Sore itu, Yudis kembali ke tempat segalanya bermula — Bakso Mang Oedin. Restoran itu masih ramai oleh jamaah Indonesia. Bau bawang goreng dan sambal ulek menguar kuat di udara.
Gofur menyambutnya hangat.
“Kanda… akhirnya kau datang lagi. Masih ingat kursi itu?” katanya sambil menunjuk pojok tempat pertama Yudis melihat Samiya. Dengan gaya khas Gofur menghibur
Yudis tersenyum kecil. “Aku datang bukan untuk duduk di sana lagi. Tapi untuk berdiri di hadapan kenyataan—apa pun bentuknya.”
Pertemuan di Rumah Samiya
Malam harinya, Yudis ditemani Gofur dan Iskandar mengunjungi rumah Bu Najwa. Kali ini tidak dalam suasana lucu seperti dulu. Kali ini lebih tenang, lebih dewasa.
Bu Najwa menyambut dengan wajah tenang. Kakak laki-laki Samiya juga hadir. Suasana sopan dan hangat.
Samiya sendiri tidak ikut duduk bersama. Tapi keberadaannya terasa di balik tirai.
“Saya tidak datang untuk melamar,” ucap Yudis dengan suara bulat.
“Saya hanya ingin memastikan bahwa maksud saya selama ini tidak menimbulkan beban. Jika Samiya memang punya arah yang berbeda, saya siap melepas… dengan tenang.”
Bu Najwa tersenyum, matanya sedikit berkaca.
“Yudis… kamu laki-laki yang langka. Samiya tahu itu.
Tapi kamu juga harus tahu, kami hidup di tengah tradisi dan harapan.
Dan terkadang… yang paling mencintai, harus jadi yang paling siap untuk tidak dipilih.”
Yudis menunduk. Ia tak kecewa. Ia justru merasa bebas.
Langkah Pulang Tanpa Penyesalan
Dalam perjalanan pulang ke hotel, Iskandar bertanya,
“Kalau nanti benar dia menikah dengan orang lain, kamu kuat, Kanda?”
Yudis menjawab pelan,
“Cinta bukan soal dipilih. Tapi soal tetap bisa mendoakan dengan ikhlas, bahkan saat kita bukan alasannya bahagia.”
Sesampainya di kamar, Yudis membuka mushaf. Ayat yang terbuka adalah:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu…”
(QS. Al-Baqarah: 216)
Ia membaca perlahan, lalu berdoa:
“Ya Allah, jika tidak dengan dia, maka beri aku yang membuatku tak pernah mempertanyakan kenapa bukan dia.”
Yudis tidak kehilangan apa pun malam itu.
Justru ia mendapatkan sesuatu yang lebih langka:
ketegasan hati, dan kebebasan dari ketergantungan pada jawaban.