Restoran milik Yudis yang terletak di jantung kawasan pelajar Istanbul semakin dikenal dan ramai. Menu khas Indonesia seperti nasi uduk, rendang, dan ayam penyet disukai para diaspora dan pelajar yang rindu kampung halaman. Bahkan beberapa mahasiswa Turki mulai tertarik mencicipi “exotic food from Nusantara,” begitu mereka menyebutnya.
Namun, ketika semuanya mulai stabil, ujian baru datang—seperti biasa, tanpa mengetuk, tanpa salam. Badai ekonomi melanda Turki.
Inflasi di Turki meroket sampai 85,51%
“Kontrak tempat ini naik dua kali lipat, Kanda,” kata Yudis sambil meletakkan surat di atas meja.
Mata-mata mereka saling berpandangan. Kertas itu terasa lebih berat dari biasanya.
Rizki membacanya cepat, lalu mendesis,
“Waktu cuma sepuluh hari? Gila juga pemiliknya…”
Kamil bersandar di kursi, menggosok pelipis.
“Kita bisa nego. Tapi kalau dia keras kepala, satu-satunya jalan adalah cari tempat baru.”
“Tapi branding kita sudah kuat di lokasi ini,” kata Iskandar.
“Kalau pindah, kita mulai dari nol lagi.”
“Dan saya lupa kabarin,” Yudis menambahkan, “bisnis jastip juga lagi drop banget.
Pengiriman dari Eropa mulai macet. Paket-paket kita dari Belanda tertahan di bandara Frankfurt.
Yang ke Indonesia delay semua karena aturan baru bea cukai.”
Hening.
Udara Istanbul sore itu lebih dingin dari biasanya.
Tapi bukan cuaca yang membuat tubuh mereka merinding.
Randito memecah keheningan dengan nada tenang,
“Ji, ini bukan kali pertama kita dihantam masalah.
Ingat waktu awal-awal pandemi? Kita bahkan nggak punya modal cukup buat ongkos ke Turki.
Tapi kita bisa jalan. Kenapa sekarang harus ragu?”
Yudis tersenyum agak pesimis.
“Sekarang beda, Ji. Kita udah punya tanggungan karyawan. Pelanggan tetap. Komitmen distribusi.”
“Justru karena kita punya itu semua, kita gak boleh berhenti,” tegas Kamil.
“Kita harus bertahan. Tapi kita nggak harus bertahan di tempat yang sama. Kita bertahan pada nilai. Pada semangat awal kita.”
Iskandar mengangguk, lalu menyarankan,
“Kita pertimbangkan investor lokal. Aku punya dua kenalan pengusaha Turki dari acara kemarin. Kita bisa ajak kolaborasi.
Kalau mereka percaya kita punya potensi ekspansi, kita bisa dapat suntikan dana untuk ambil tempat baru, atau bahkan beli tempat ini.”
“Kalau semua gagal gimana?” tanya Rizki.
Semua terdiam.
“Kalau semua gagal,” jawab Yudis perlahan,
“kita mulai lagi. Bareng. Dari nol. Kayak dulu.”
Randito tersenyum.
“Nah itu Sahabat sejati bukan yang ada waktu kita sukses,
tapi yang tetap satu meja waktu usaha kita ditagih kontrak.”
Semua tertawa kecil.
Seketika, beban di dada mereka terasa lebih ringan.
Dan seperti biasa,
tak ada yang meninggalkan ruangan itu dengan saling menyalahkan.
Hanya ada satu tekad: mencari solusi. Bersama.
Karena mereka tahu,
perjalanan bisnis bukan soal tak pernah jatuh—
tapi tentang bagaimana bangkit dengan hati yang tetap bersih, dan niat yang tetap lurus
Musim Dingin yang Membekukan Segalanya
Angin musim dingin mulai menggigit kulit.
Istanbul berselimut kabut putih.
Namun dingin paling tajam bukan dari udara…
melainkan dari berita yang datang bertubi-tubi.
Kontrak tempat restoran Yudis habis awal bulan itu.
Tuan tanah mendadak menaikkan harga dua kali lipat,
mengikuti laju inflasi Turki yang mencapai 85%.
“Kami tak bisa teruskan dengan harga segitu,” kata Yudis saat pertemuan dengan pemilik gedung.
Namun tak ada negosiasi.
Tiga hari kemudian, restoran disegel.
Tak hanya restoran—kantor pusat kecil mereka di lantai atas bangunan yang sama,
ikut disegel karena alamat yang tak sah dan perizinan yang belum diperbarui akibat kekacauan keuangan.
Di hari yang sama, notifikasi dari bea cukai masuk.
Barang-barang jasa titip dari Eropa ke Indonesia—termasuk koper-koper mewah, peralatan rumah tangga, dan produk skincare bernilai tinggi—tertahan.
“Kita dikenai pajak tambahan, dan statusnya belum bisa diloloskan,” ujar Rizki dengan wajah lelah.
Itu belum semuanya.
Di malam yang beku, Yudis memanggil sahabat-sahabatnya ke ruang tamu apartemen sewaan mereka yang kini kosong karena listrik dan air sudah diputus sementara.
Dengan suara gemetar, ia bicara,
“Ada satu hal lagi yang belum sempat aku sampaikan…”
Ternyata, Yudis mengalami penipuan oleh orang yang ia percayai—teman dekat di komunitas ekspatriat.
Transaksi investasi dadakan yang awalnya menjanjikan keuntungan cepat di bidang logistik,
berubah jadi jebakan.
Ratusan juta rupiah miliknya dan dana operasional perusahaan lenyap.
Nomor pelaku tak bisa lagi dihubungi.
Kas perusahaan defisit.
“Maafkan aku… semua ini karena aku terlalu percaya. Terlalu ingin cepat bangkit,” ujar Yudis sambil menunduk,
menahan air mata yang akhirnya tumpah juga.
Tidak ada satu pun dari sahabat-sahabatnya yang memarahinya.
Iskandar hanya menghela napas panjang,
lalu mendekat dan memeluknya.
“Beruntung kita bukan cuma punya usaha. Tapi punya ukhuwah.
Yang bangkrut itu bisnis. Tapi selama kita masih shalat bareng dan makan bareng, kita belum kalah.”
Randito mencoba mencairkan suasana,
“Kalau kita berhasil melewati ini, nanti kita bikin buku motivasi judulnya: Manasik Bisnis Bangkrut. Bestseller di Turki.”
Tawa kecil pecah, meski tertahan oleh tangis yang belum reda.
Malam itu, mereka tak tahu harus tidur di mana.
Sampai Yudis teringat satu hal:
“Ayah angkatku dari Malaysia baru beli rumah kecil di luar kota Istanbul.
Sekitar 30 menit naik mobil. Dekat masjid, sepi, dan insyaAllah cukup hangat.”
Esoknya, mereka berkemas seadanya.
Naik mobil sewaan kecil yang penuh dengan tas, alat masak darurat, dan barang-barang pribadi.
Di luar, salju turun ringan.
Musim dingin benar-benar menyelimuti seluruh langit Istanbul.
Namun justru di rumah sederhana itu—rumah milik seorang pensiunan guru dari Kelantan—
mereka kembali menemukan ketenangan.
Mereka salat berjamaah.
Makan roti dan teh hangat setiap pagi.
Diskusi malam tentang rencana baru yang tak muluk-muluk:
berdakwah dengan yang tersisa, berdagang dengan yang halal, dan bangkit tanpa menyakiti.
Karena mereka tahu…
yang paling berbahaya dalam bisnis bukan rugi, tapi putus asa.
Dan mereka tidak akan membiarkan satu pun dari mereka jatuh sendirian.
Malam Tanpa Cahaya
Satu malam Yudis menghilang. Ia tak bisa dihubungi. Sahabat-sahabatnya panik.
Ternyata Yudis duduk di tepi Bosphorus, berjaket tipis, memeluk mushaf. Ia merasa gagal: bisnis terhambat, Samiya tak merespon, tekanan terus berdatangan. Dalam gelap malam, ia membaca doa Nabi Yunus:
“La ilaha illa anta, subhanaka, inni kuntu minaz-zhalimin…”
Berulang-ulang.
Malam itu bukan malam biasa. Malam itu malam pengakuan, dan permohonan untuk dikuatkan kembali.