Dingin belum sepenuhnya pergi dari langit Istanbul. Namun pagi di rumah kecil itu terasa hangat. Mereka bangun lebih awal, shalat Subuh berjamaah di Masjid depan rumah. Lalu duduk melingkar, seperti dulu—saat belum ada bisnis, belum ada masalah.
Tak ada wifi. Tak ada meja besar. Hanya roti gandum hangat, teh herbal, dan satu sama lain. Iskandar memimpin rutinitas membaca zikir pagi Wirdul Latif.
“Saya rasa kita mulai lupa lagi,” kata Randito sambil mengunyah roti.
“Kita dulu mulai semua ini dari nol. Dari ide. Bukan dari uang.”
Rizki mengangguk.
“Ya.. Dan sekarang Allah bikin kita balik ke titik itu, biar ingat siapa Pemilik segala proses.”
Yudis masih diam, tapi wajahnya mulai pulih.
Sudah beberapa hari sejak ia mengaku soal penipuan, dan sejak itu pula—tidak ada satu pun dari sahabatnya yang menjauh.
Justru sebaliknya.
Iskandar diam-diam menghubungi beberapa kenalan di komunitas bisnis halal trip.
Kamil mengaktifkan lagi jaringan pengusaha muda di Asia Tenggara.
Rizki membuat rencana pelatihan online bagi para diaspora.
Randito mengusulkan ide sederhana:
“Kenapa kita nggak bikin program spiritual Manasik Cinta mini dari rumah ini? Hybrid. Virtual. Paket ringan.”
Yudis mengangkat wajah.
Matanya mulai berbinar.
“Dari rumah ini?”
“Dari manapun, Ji. Kalau niatnya ngundang keberkahan, ruang sempit pun bisa jadi pesantren.”
Dua minggu kemudian, program uji coba Manasik Cinta Virtual diluncurkan.
Lewat Zoom, mereka memandu peserta dari Indonesia, Malaysia, bahkan Eropa—dengan materi ringan tentang makna haji, cinta, dan keberuntungan dalam takdir.
Tak lama setelah itu, Rizki mendapat kabar dari relasi pengusaha batik di Cirebon yang ingin kerja sama ekspor lewat Turki.
Yudis pun ditawari satu unit food stall halal kecil di area bazar komunitas Indonesia di Istanbul. Relasi Yudis dengan Konsul Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) di Istanbul cukup dekat yang terbangun sejak lama.
Ada peluang baru, sewa murah, bisa bayar cicilan.
Menunya sederhana—nasi kuning, telur balado, kerupuk udang.
Tapi laris manis.
“Ini bukan restoran mewah,” kata Yudis sambil menata meja kecil.
“Tapi ini awal yang cukup. Dan semoga halal sepenuhnya berkah.”
Satu sore, Iskandar mengajak mereka duduk di halaman rumah.
Daun-daun mulai rontok. Angin lebih bersahabat.
“Kita nggak tau apa yang akan terjadi tahun depan,” katanya,
“tapi kita tahu satu hal: kita tidak pernah ditinggalkan.”
Kamil menimpali,
“Dan kalau kita bisa lewati badai ini…
kita siap melayani siapa pun yang sedang tenggelam dalam ujian.”
Randito berdiri sambil membawa handphone, lalu berkata,
“Ji, udah fix ya… nama rumah ini sekarang adalah: Pondok Manasik Cinta.”
Tawa meledak.
Dan sore itu, di tengah rumah sederhana yang jauh dari hiruk pikuk kota,
mereka belajar satu pelajaran penting:
kadang, kita harus kehilangan segalanya untuk tahu mana yang benar-benar tak pernah hilang.
Janji yang Tertunda
Hari-hari di Pondok Manasik Cinta mulai berjalan seperti aliran air jernih.
Tidak deras, tapi mengalir mantap.
Setiap pagi mereka membuka pelatihan online,
siangnya mempersiapkan makanan dan kiriman untuk komunitas,
malamnya saling berbagi tawa, ide, dan tak jarang… air mata yang diam-diam tumpah di sujud terakhir.
Di balik semua itu, Yudis menyimpan sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia lepaskan:
janji kepada Samiya.