Angin Istanbul sore itu terasa lembut namun dingin. Langit sedikit kelabu, seolah menyimpan rahasia. Jalanan kota perlahan mulai bergeliat setelah sekian lama terdiam. Restoran-restoran kecil di gang sempit mulai menyalakan lampu. Dan di salah satu sudut Fatih, kawasan tua yang kental nuansa sejarah Islam, sebuah pertemuan penting sedang terjadi.
Restoran Dua Lantai dan Lima Kursi Kosong
Yudis berdiri di balik meja kasir restorannya. Ruangan itu hangat, beraroma kayu manis, daging panggang, dan teh hitam Turki. Ia telah menyiapkan meja bundar di lantai dua — meja yang akan menjadi saksi awal dari sesuatu yang besar.
Satu per satu, sahabatnya datang. Iskandar datang pertama, membawa ransel dan mata lelah, tapi senyum tulus.
“Kanda,” sapa Yudis, memeluknya erat. “Akhirnya ke sini juga.”
“Kalau bukan kamu yang ngajak, mungkin aku masih di Jakarta nulis naskah tanpa arah.”
Tak lama kemudian, Kamil muncul, membawa koper kecil dan jaket tebal.
“Turki ternyata lebih dingin dari Balikpapan,” gumamnya, menggigil. Tapi matanya berbinar. “Tapi hati ini hangat. Udah lama gak ketemu kalian gini.”
Rizki datang terakhir sebelum Maghrib. Ia menenteng tas kecil dan seikat buku. “Ini hadiah buat restoranmu, Yudis,” katanya, meletakkan tiga buku cerita anak di atas meja.
“Buat dibaca anak-anak pengunjung?” tanya Yudis.
“Buat siapa pun yang ke sini dan butuh harapan.”
Shalat Maghrib dan Sebuah Tangis
Setelah makan malam sederhana, mereka shalat berjamaah di ruang atas yang disulap jadi mushala. Iskandar mengimami. Doanya panjang. Tapi tidak ada yang keberatan.
Rizki meneteskan air mata. Kamil menggenggam tangan kirinya. Yudis tak tahan dan ikut terisak, terutama saat bagian doa berbunyi: “Ya Allah, satukan kami dalam niat yang lurus dan usaha yang bersih yang Engkau berkahi.”
Saat doa selesai, telepon berdering dari tas kecil milik Yudis, rupanya itu telpon itu dari Randito yang mengabarkan sempat tertahan di bandara Istanbul, dan meminta Yudis untuk bisa menjemputnya di Bandara, sementara Iskandar, Rizki, dan Kamil memilih menunggu di restoran dan beristirahat.
Pesawat Turkish Airlines mendarat mulus di Bandara Internasional Istanbul. Di balik masker dan jaket tebalnya, Randito menghela napas panjang. Perjalanan yang penuh prosedur—surat kesehatan, hasil PCR, izin khusus—akhirnya berakhir. Tapi perjalanan hidupnya justru baru dimulai.
Di balik pintu kedatangan, berdirilah Yudis. Mengenakan jaket hitam, syal merah tua, dan ransel yang tampaknya selalu siap perang.
“Kanda Randito! Assalamulaikum!”
“Yudis… akhirnya.”
Mereka berpelukan sebentar, dengan protokol pandemi: cepat, jaga jarak, dan saling menepuk punggung tanpa terlalu lama.
Dunia yang Masih Bergerak
Dalam perjalanan taksi dari bandara ke kawasan Fatih, Randito melihat pemandangan yang kontras: toko-toko kecil tetap buka, pedagang roto simit berkeliling, turis—meski sedikit—masih ada yang berfoto di pinggir jalan.
“Turki ini aneh ya, Dis. Dunia kayak berhenti, tapi di sini masih ada napas.”
“Itu kenapa aku ngajak Kanda ke sini. Turki enggak nunggu dunia sembuh. Dia tetap jalan.”
Yudis menjelaskan bahwa selama pandemi, Turki menjadi satu dari sedikit negara yang tidak sepenuhnya lockdown. Banyak warga Indonesia yang tertahan di sini, tapi justru menemukan peluang.
“Kanda lihat deh, café kecil aja bisa jualan terus. Kita bisa bangun bisnis, sambil bikin program training bisnis, dakwah digital. Dunia hari ini butuh konten dan ide-ide baru, kabarnya ini akan terjadi perubahan dunia global.”
Randito mengangguk. Di matanya, Yudis bukan hanya anak muda idealis. Ia peka, tajam, dan tahu arah zaman. Dan yang paling penting—ia berani.
Lima Pikiran, Satu Arah
Malam itu meja bundar dalam sudut ruang restoran dipenuhi teh, kurma, kacang-kacanga dan kertas kosong. Papan tulis putih terpampang masih bersih. Tapi kepala mereka penuh rencana.
Iskandar bicara tentang tren pariwisata spiritual. Kamil menawarkan jaringan halal logistics. Rizki ingin integrasi edukasi dan travel. Randito merancang sistem pelatihan leadership-nya. Dan Yudis, tentu saja, mengusulkan “pengalaman umrah haji dan manasik dengan sentuhan kultural dan jiwa.”
“Kita bikin bisnis yang bukan cuma untung, tapi berkah,” ujar Yudis. “Bayangkan kalau anak-anak muda bisa ke Mekkah dan Madinah, gak cuma jalan-jalan, tapi pulang jadi pribadi baru?”
Semua terdiam. Lalu Iskandar tersenyum pelan.
“Kalian tahu nggak? Aku pernah tulis di buku: ketika niat bersih bertemu momen tepat, langit akan turun tangan.”
Doa yang Menyala
Sebelum bubar malam itu, mereka membuat satu kesepakatan:
Apapun bentuk bisnisnya nanti — hotel, resto, pelatihan, travel syariah — niatnya tetap sama: memberi manfaat, menjaga akhlak, dan menguatkan umat.
Mereka berdiri bersama di balkon lantai dua. Langit Istanbul tampak pekat. Tapi cahaya masjid Sulaymaniyah di kejauhan tampak menyala lembut.
Yudis menatap bintang lalu berbisik:
“Bismillah. Ini bukan sekadar bisnis. Ini perjalanan ibadah. Dan setiap ibadah butuh manasik.”
Dan malam itu, manasik pertama mereka dimulai — bukan dengan lempar jumrah, tapi dengan lempar keraguan. Bukan dengan thawaf, tapi dengan memutar harapan dalam lingkar niat.