Istanbul di musim semi seperti lukisan yang diberi napas. Langit biru pucat membentang di atas masjid-masjid tua, burung camar beterbangan di atas selat Bosphorus, dan aroma roti simit hangat khas turki menyatu dengan angin yang berhembus pelan dari pelabuhan Eminönü.
Hari itu, kota seolah tersenyum. Tapi di balik senyum itu, dunia masih belum pulih.
Arab Saudi Masih Tertutup
“Masih lockdown total,” ujar Iskandar, meletakkan ponselnya di atas meja kayu panjang restoran. “Visa umrah ditangguhkan. Hotel-hotel kosong. Lihat nih Masjidil Haram sepi”
“Dan semua orang cuma bisa lihat Ka’bah lewat live streaming,” tambah Kamil. “Satu dunia rindu, tapi belum bisa mendekat.”
Randito memutar cangkir tehnya. “Tapi Turki belum tutup. Dan itu bukan kebetulan.”
Mereka sedang duduk di lantai dua restoran milik Yudis. Sejak kedatangan mereka sebulan lalu, tempat itu menjadi markas kecil mereka. Di sinilah rencana besar mulai dirangkai, doa-doa panjang dibacakan, dan tawa-tawa tumbuh dari kesederhanaan.
Jalanan, Masjid, dan Roti Hangat
Pagi-pagi mereka biasa berjalan kaki ke Masjid Biru. Kadang mampir ke Taman Gülhane hanya untuk duduk diam menatap laut. Sore harinya, mereka naik trem tua menyusuri jalan batu menuju Grand Bazaar — bukan untuk belanja, tapi hanya ingin merasakan hidup kembali berdetak.
Ada satu sore yang tak mereka lupakan. Mereka berdiri di bawah jembatan Galata, memandangi perahu-perahu kecil dan cahaya matahari sore yang jatuh di air.
“Turki ini kayak madrasah terbuka,” kata Rizki, memeluk map catatannya. “Belajar tentang sabar, tentang ikhtiar, dan tentang tidak menyerah ketika semua terasa lambat dan terhambat.”
Yudis tersenyum. “Kita tidak sedang menunggu peluang. Kita sedang dipersiapkan untuk menerimanya.”
Restoran yang Jadi Rumah
Restoran Yudis semakin ramai. Diaspora Indonesia, mahasiswa, bahkan beberapa warga Turki lokal mulai datang karena penasaran dengan makanan dan suasananya. Tapi yang membuat tempat itu berbeda adalah nuansanya.
Di setiap sudut ada tempelan kata-kata hikmah. Di dinding tergantung peta Arab Saudi dan papan tulis bertuliskan:
“Bukan bisnis biasa. Ini ladang amal berjamaah.”
Mereka sering lembur malam, menyusun proposal, menghitung anggaran, merancang nama dan logo. Tapi selalu ditutup dengan shalat berjamaah dan tadarus.
Doa di Taman Rahasia
Suatu malam, mereka berjalan ke sebuah taman kecil tersembunyi di balik area perbukitan Fatih. Di sana, hanya ada rumput, pohon zaitun, dan suara angin. Mereka saling duduk melingkar.
“Bayangkan suatu hari nanti,” kata Kamil, “kita punya hotel di Mekkah, resto di Madinah, dan program manasik buat pemuda-pemudi dari seluruh dunia.”
“Mimpi itu harus diucap,” kata Randito. “Karena dari mulut, niat naik ke langit.”
Yudis menutup matanya.
“Ya Allah… jadikan kami pengelola rezeki yang amanah. Dan kuatkan kami menunggu waktu-Mu.”
Kabar dari Tanah Suci
Beberapa minggu kemudian, berita itu datang: Arab Saudi membuka diri—tapi dengan pembatasan ketat.
Visa sangat terbatas. Hotel harus sertifikasi. Resto wajib daftarkan protokol. Tapi peluang itu… nyata.
Mereka tidak bersorak. Tidak ada tepuk tangan. Hanya sunyi yang khidmat.
“Ini dia,” kata Iskandar. “Pintu sudah terbuka sedikit. Dan kita siap mendorongnya perlahan.”
Istanbul bukan tempat transit. Istanbul adalah tempat persiapan. Sebelum berangkat ke Tanah Suci, mereka menata niat, menata hati, dan menata arah.
Dan dari balik semua itu… satu hati masih diam-diam gelisah: hati seorang pemuda Lampung bernama Yudis, yang belum tahu bahwa sebentar lagi ia akan bertemu seseorang—dengan cinta yang tak biasa, dan ujian yang tak mudah.