Bandara King Abdulaziz, Jeddah, terasa lebih hening dari biasanya. Masker, thermal scanner, dan suara pengumuman protokol kesehatan dalam bahasa Arab menjadi pemandangan wajib. Tapi di balik ketatnya penjagaan pandemi, ada sesuatu yang longgar: ruang pertemuan takdir.
Yudis dan keempat sahabatnya keluar dari gerbang kedatangan dengan langkah mantap. Mereka baru tiba dari Istanbul, membawa satu semangat: mewujudkan mimpi bisnis yang dirancang sejak lockdown.
“Dulu kita ke sini buat umrah,” celetuk Randito. “Sekarang datang buat nyari rezeki halal dan… mungkin jodoh?”
“Jangan asal ngomong, nanti diaminkan malaikat,” jawab Rizki dan disambut tawa kecil Kamil.
Perjalanan dengan Taksi
Mereka naik taksi besar menuju daerah penginapan di wilayah Cornes Jeddah. Sopirnya orang Bangladesh, bicara campuran Arab-India.
“Jeddah masih sepi,” katanya sambil menoleh lewat kaca spion. “Corona membuat semua tempat jadi kosong.”
Yudis duduk di jendela, menatap jalanan kota yang ia rindukan. Gedung-gedung putih, langit bersih, dan pohon-pohon kurma yang berdiri tegak di pinggir trotoar. Tapi hatinya mulai gelisah, tanpa sebab jelas.
Di pikirannya, kota ini menyimpan lebih dari sekadar peluang. Ia tak tahu kenapa, tapi perasaannya mengatakan… sesuatu akan terjadi di sini.
Makan Siang, Rasa Rumah
Sesampainya di penginapan, setelah beristirahat sebentar, mereka memutuskan makan siang.
“Bakso Mang Oedin?” tanya Kamil.
“Gas,” jawab Rizki. “Rasanya kayak Bandung, cuma lebih panas dan lebih mahal.”
Restoran Mang Oedin berada di sudut kawasan ramai, jadi tempat favorit WNI di Jeddah. Meja dan kursinya rapi dan cukup nyaman. Poster-poster bahasa Indonesia menempel di dinding. Suara ibu-ibu bergamis hitam dan anak-anak kecil terdengar seperti di kampung halaman, hari itu nampak banyak orang Indonesia yang mukim disana sedang menikmati telah dibukanya pembatasan protokol kesehatan pandemi secara bertahap.
Bagi Yudis, ini tempat yang penuh kenangan—tapi hari itu akan menjadi awal cerita yang sama sekali baru.
Samiya Datang
Sambil menyeruput kuah bakso, Yudis mendadak diam. Pintu restoran terbuka. Seorang gadis Arab muda masuk, mengenakan abaya polos hitam, rapi dan anggun. Ia menyusul ibunya yang lebih dulu masuk.
Langkahnya tenang. Pandangannya tertunduk. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali mengangguk atau menjawab singkat… dalam bahasa Arab.
Yudis tak paham apa yang mereka katakan, tapi ada sesuatu yang menghentikan waktunya. Gadis itu—dalam diam dan kesopanan—membuat dada Yudis sesak. Ia merasa sedang melihat seseorang yang pernah ia temui… entah di mimpi, atau di masa lalu yang tak pernah ada.
“Masya Allah…” lirih Yudis.
Iskandar menoleh. “Apa itu barusan?”
“Enggak. Nggak apa-apa…” jawab Yudis cepat. Tapi dia belum bisa menahan senyum.
Percakapan Perkenalan
Setelah makan selesai, ibunya Samiya—karena itu nama sang gadis—mampir ke kasir. Yudis menghampiri dengan alasan ingin memesan air mineral.
“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa Yudis.
“Wa’alaikumussalam,” jawab sang ibu ramah, senang bertemu sesama WNI.
“Anak Ibu… luar biasa sopan,” kata Yudis, mencoba tenang.
“Masya Allah, terima kasih. Dia memang agak pemalu, dan belum bisa bahasa Indonesia. Kami tinggal di Jeddah sejak kecil. Ayahnya—almarhum—orang Arab asli, tentara.”
“Oh…” Yudis menunduk. “Saya dari Lampung, sekarang tinggal di Turki, kuliah S2 dan jalankan restoran kecil.”
Sang ibu tersenyum. “Kamu seperti anak saya yang di Banten. Semangat dan jauh dari rumah.”
Yudis memang berbakat dalam sosialisasi, ia cukup dengan mudah untuk cepat akrab dengan siapapun yang baru ia kenalnya.
Yudis ragu sejenak. Lalu memberanikan diri. “Bu Kalau boleh… saya ingin silaturahmi ke rumah Ibu. Lebih jauh mengenal… keluarga Ibu.”
Namun hari itu bukan hari yang tepat baginya untuk mendapat perhatian khusus dari orang yang baru saja dikenalnya beberapa saat di tempat makan.
Pertemuan Kedua yang Tak Disangka
Seminggu kemudian, kelima sahabat kembali ke Bakso Mang Oedin untuk sekadar makan siang sebelum agenda rapat bisnis. Suasana restoran masih sama—tapi agak sepi, riuh diluar area parkir, dan aroma bawang goreng yang khas. Tapi hari itu, ada kejutan.
Begitu mereka masuk, Yudis terdiam.
Di sudut ruangan, duduklah sosok yang sama: Samiya dan ibunya. Masih dengan abaya hitam. Masih dengan pembawaan tenang yang tak berubah. Bedanya kali ini, Samiya sempat menoleh ke arah mereka. Dan menatap balik.
“Subhanallah…” desah Yudis nyaris tak terdengar.
Iskandar menyadarinya lebih dulu. “Eh, itu… yang minggu lalu?”
“Ya,” jawab Yudis pelan. “Dan mereka duduk di meja yang sama.”
Gofur, Sang Pemilik Resto BMO dan Jembatan Takdir
Dari balik dapur, muncul sosok berperawakan kecil sedang, berkacamata modern, pakaian sederhana tapi bersahaja—Gofur, pemilik Bakso Mang Oedin. Ia generasi kedua dari usaha keluarganya sejak puluhan tahun di Arab Saudi.
“Wahai manusia-manusia Turki! Udah datang lagi?” sapa Gofur riang.
Iskandar berdiri, menyambut. “Kang Gofur! Luar biasa, nggak berubah dari lima tahun lalu. Semakin gagah aja”
Gofur tertawa lebar. “Iskandar! Masya Allah, saudara jauh yang nggak pernah dekat ini akhirnya mampir juga!”
Gofur lalu melirik ke arah Yudis yang masih mematung.
“Eh… yang mana namanya Yudis?”
“Ini,” jawab Randito, menepuk pundak Yudis.
Gofur menatap Yudis, lalu mengikuti arah pandangannya—dan langsung tertawa.
“Eh… eh… ini liat-liat gadis Arab ya? Matanya udah kayak GPS! Fokus di koordinat itu-itu aja!”
Yudis tersipu. “Maaf, Kang… saya cuma…hehe”
“Santai aja. Ibu sama anak itu saya kenal. Namanya Bu Najwa. Orangnya baik banget. Jarang ke sini sih, jadi kalau udah dua kali ketemu, itu bukan kebetulan, Bro. Itu ‘kode keras’ dari Allah.”
Gofur memang lah pribadi yang ramah dan gemar menghibur, sebelumnya Yudis dan Gofur beberapa kali terhubung dalam forum online antar pelajar diaspora karena Gofur juga memiliki pengalaman organisasi sebagai ketua Pelajar Indonesia di Mesir, seperti halnya Yudis di Turki.
Langkah Kecil Menuju Nomor WA
Tanpa menunggu, Gofur menghampiri meja Bu Najwa.
“Assalamu’alaikum, Bu Najwa, ini ada tamu dari Turki, anak muda baik-baik, insya Allah. Mau bersilaturahmi katanya… boleh ya saya kenalkan?”
Bu Najwa mengangguk sopan. “Silakan.”
Yudis maju pelan, dibimbing Gofur. Ia menyapa dengan senyum tenang.
“Assalamu’alaikum, Bu. Maaf mengganggu. Saya Yudis. Minggu lalu pernah sempat ngobrol sedikit. Terima kasih sudah berkenan menerima kami.”
Bu Najwa mengenali wajahnya. “Oh iya… anak restoran dari Turki, ya?”
Yudis tertawa kecil. “Iya, Bu. Saya minta izin, kalau diperbolehkan, bolehkah saya… menyimpan nomor Ibu? Untuk komunikasi silaturahmi.”
Bu Najwa tersenyum. “Insya Allah. Tapi lewat saya dulu ya, bukan langsung ke Samiya.”
“Insya Allah, saya paham.”
Dari situlah Yudis tahu siapa nama wanita muda yang diliriknya, Samiya namanya.
Kembali ke Meja dengan Senyum
Saat kembali ke meja, seluruh sahabat langsung bersorak kecil.
“Kanda Yudis… akhirnya bertukar WA!”
“Sekarang kamu resmi masuk babak baru: jangan salah kirim emotikon!”
“Gofur, kamu penyambung lidah cinta!”
Gofur tertawa. “Ah Saya cuma sopir takdir, Mas!”
Dan di hari itulah, benih pertama komunikasi dimulai. Masih jauh dari cinta, tapi cukup untuk menjaga niat. Dengan jalur yang benar. Dengan langkah yang santun. Dan tentu penambah semangat hidup.
Lamaran Gagal yang Terhormat
Seminggu setelah pertemuan kedua, Yudis datang ke rumah Bu Najwa bersama Iskandar, Kamil dan Rizki. Rumah itu sederhana, bersih, dan hangat.
Samiya hanya muncul sejenak, membawa teh khas Arab, lalu kembali ke kamarnya. Wajahnya tak bicara, tapi matanya mengisyaratkan: aku tahu siapa kamu.
Pertemuan berlangsung dengan kakaknya yang menjadi wali keluarga.
Dalam percakapan sederhana bahasa Arab;
“Umur?”
“27.”
“Kesibukan?”
“S2 dan pemilik restoran di Istanbul.”
“Tujuan ke sini?”
“Kalau boleh Saya ingin taaruf dengan Samiya.”
Kakaknya mengernyit, lalu menyela: “Anta tadrī innahā mazālat fī al-madrasa al-mutawassiṭah?” (Apakah Kamu tahu dia masih sekolah setingkat SMP?)
Semua saling pandang terkejut. Iskandar bisik ke Kamil: “Mil, bukannya tadi Yudis bilang dia udah lulus SMA?”
Yudis langsung lemas, lalu mencoba tetap kalem: “Saya… saya bisa menunggu… tiga tahun bukan masalah…”
Kakaknya nyengir dan berkata: “Kalau kamu sabar, kita bisa lanjut ngobrol.”
Dan teman-temannya langsung menahan tawa sambil pura-pura batuk.
Tertawaan yang Menyejukkan
Di mobil, perjalanan pulang terasa seperti episode sinetron penuh tawa.
“Kanda Yudis, calonmu masih ujian sekolah mau lulus sekolah!”
“Lulus sekolah SMP dulu aja baru ngundang penghulu ya!”
“Mas kawinnya kalkulator Casio sama jilid LKS!”
Yudis tak membantah. Ia hanya tersenyum kecil.
“Tertawalah kalian hari ini. Tapi aku yakin, rasa yang diberi dari Allah… tak datang sia-sia.”
Dan di sanalah, cinta tak biasa itu dimulai.
Bukan dari janji. Bukan dari puisi. Tapi dari pandangan singkat dan niat yang lurus.
Yudis tak tahu apakah ia akan benar-benar berjodoh dengan Samiya.
Tapi ia tahu, ia ingin menjaga niat ini—meski harus menunggu bertahun-tahun.