Musim semi mulai benar-benar tiba di Istanbul. Bunga-bunga kecil bermekaran di taman-taman kota, dan langit yang tadinya muram perlahan berubah cerah. Tapi hati Yudis justru mulai redup.
Sudah dua minggu berlalu sejak ia kembali dari Jeddah. Tapi setiap kali ia membuka ponsel, namanya selalu sama: Najwa (Ummu Samiya). Tidak ada nama Samiya, karena memang ia tidak pernah langsung menghubungi.
Dan itu membuat Yudis tenang. Karena memang ia tidak sedang mengejar seseorang, melainkan menjaga niat.
Restoran Berjalan, Tapi Pikiran Tertinggal
Restoran milik Yudis tetap ramai. Mahasiswa Indonesia, pelancong dari Malaysia, sampai warga Turki lokal mulai mengenal tempat ini. Tapi setiap kali Yudis menyendokkan sup hangat untuk pelanggan, pikirannya tak bisa jauh dari satu kota di selatan: Jeddah.
Samiya—yang bahkan belum ia kenal lebih dari sepuluh menit bicara langsung—tiba-tiba menjadi bayangan yang sulit disingkirkan.
Bukan karena cinta. Tapi karena perasaan bahwa Allah sedang menitipkan ujian yang harus dijaga.
Tekanan dari Rumah dan Dunia Nyata
Suatu malam, panggilan dari ibu di Lampung masuk.
“Yudis, kamu sehat, Nak?”
“Alhamdulillah, Bu.”
“Kapan pulang? Ibu pingin lihat kamu menikah. Nggak usah nunggu sempurna. Yang penting shalihah.”
Yudis menahan napas. “Insya Allah, Bu. Lagi berikhtiar.”
“Kalau ada calon di sana, ambil saja. Ibu restui. Jangan gantung hidupmu hanya karena sesuatu yang jauh dan belum pasti.”
Yudis terdiam lama.
Elif dan Jebakan Emosi
Di tengah kesibukan itu, muncullah Elif.
Gadis Turki bermata coklat muda, ramah, dan cerdas. Ia beberapa kali magang di restoran. Sekarang mulai sering datang… tanpa alasan.
“Abi Yudis, kamu terlalu serius akhir-akhir ini,” katanya sambil tersenyum.
Yudis tertawa kecil. “Mungkin karena aku sedang jaga hati.”
“Menjaga dari apa?”
“Dari tergelincir.”
Elif menatapnya. “Kalau kamu jatuhnya di arah yang benar, kenapa takut?”
Yudis menoleh, memaksakan senyum. “Karena yang benar pun butuh waktu. Dan waktu terbaik itu… belum tentu sekarang.”
Malam-malam yang Hanya Ditemani Allah
Malam demi malam, Yudis makin sering shalat malam.
Ia duduk lama setelah tahajud, membaca Wirdul Latif sebuah kumpulan zikir dan doa yang rutin dibacanya setiap pagi, tapi hari itu ia membacanya walau subuh belum tiba, lalu menatap langit Istanbul dari balkon restoran.
“Ya Allah…
Jika rasa ini Engkau hadirkan, jangan Engkau permainkan.
Jika Samiya bukan untukku, hapuskan perlahan.
Tapi jika dia bagian dari takdir-Mu untukku, kuatkan aku menjaganya.
Walau tanpa balasan. Walau harus menunggu.”
Teman Bicara yang Mengerti Tanpa Banyak Tanya
Iskandar datang suatu sore. Duduk berdua di belakang restoran.
“Yudis,” katanya pelan. “Kamu lagi diuji nih, bukan sama orang… tapi sama keikhlasan.”
Yudis mengangguk. “Aku tahu, Kanda. Makanya aku ngga menuntut balasan. Aku cuma ingin bisa menjaga perasaan ini tetap bersih.”
Iskandar tersenyum. “Kalau memang dia jodohmu, Allah akan datangkan dia padamu. Tapi kalau bukan, Allah akan mengganti yang lebih baik. Jangan takut kehilangan. Takutlah kalau kita mengejar, tapi kehilangan arah.”
Dan sejak malam itu, Yudis memutuskan: ia tidak akan menunggu secara pasif. Ia akan hidup seperti biasa, memperbaiki diri, dan memperbanyak amal. Jika takdir itu datang kembali, ia akan siap. Jika tidak, ia akan tetap menjadi laki-laki yang baik.