Waktu terus berjalan. Istanbul semakin sibuk, restoran makin dikenal, bisnis terus bertumbuh. Tapi dalam hati Yudis, ada satu ruang yang tak pernah bisa dia rapikan: ruang penantian.
Ia tak pernah bilang ia jatuh cinta. Ia hanya yakin, rasa ini dititipkan Allah, dan tugasnya adalah menjaga. Tapi semakin ia menjaga, semakin banyak pintu-pintu lain yang terbuka—seolah dunia sedang mengujinya: Apakah kamu sungguh-sungguh?
Elif: Semakin Dekat, Semakin Nyata
Elif semakin sering hadir. Tidak hanya di restoran, tapi juga dalam obrolan ringan, tanya kabar, bahkan mulai ikut bantu mengatur program pelatihan kewirausahaan bersama tim.
“Abi Yudis,” katanya suatu malam sambil menutup kasir, “kau tahu bahwa aku menghormatimu. Tapi kalau aku juga menyukaimu, apakah itu salah?”
Yudis diam.
“Kalau kamu sudah punya pilihan… aku bisa mundur. Tapi kalau belum… kenapa tidak mencoba mengenal yang sudah dekat?”
Yudis menatap mata Elif. Ia tidak menemukan kesalahan dalam ucapannya. Tapi justru karena itu, ia tak berani menjawab cepat.
“Elif,” ucap Yudis pelan. “Rasa itu… bukan soal siapa yang datang. Tapi soal siapa yang menguatkan hati kita untuk tetap lurus.”
Tawaran yang ‘Siap Menikah’
Tak hanya Elif. Beberapa tawaran perjodohan mulai berdatangan.
Seorang ustadz di Istanbul mengenalkan putrinya, hafizah dan sedang kuliah S2.
Seorang rekan bisnis Turki mengusulkan keponakannya, katanya “sudah cocok jadi istri pengusaha sukses”.
Bahkan ibunya kembali menelepon, mengatakan: “Ibu sudah dapat calon dari Lampung, orangnya shalihah dan bisa langsung menikah.”
Tapi hati Yudis tidak mudah tergerak. Ia tak mau menikah hanya karena lelah sendiri. Ia ingin menikah dalam keadaan benar: waktu yang benar, niat yang benar, dan orang yang… membuatnya tenang saat menatap masa depan.
Kamil dan Nasihat yang Tegas
Di sela rapat online tim bisnis, Kamil tiba-tiba mengirim pesan pribadi ke Yudis.
Kanda Yudis, boleh jujur?
Kami semua bangga dengan kamu. Tapi jangan terjebak pada idealisme mu sendiri.
Yudis membalas:
Kanda, aku bukan idealis. Aku hanya ingin saat aku membangun rumah, aku tahu siapa yang akan duduk di terasnya bukan karena kebetulan. Tapi karena pilihan yang didoakan.
Satu Pesan yang Menguatkan
Suatu malam, saat hendak menutup restoran, WA dari Bu Najwa masuk.
Assalamu’alaikum, Nak.
Maaf baru sempat kirim kabar.
Samiya sekarang mulai fokus belajar untuk persiapan masuk Aliyah.
Dia tidak bicara banyak. Tapi masih sering tanya, “Apa kabar Mas yang dari Turki itu?”
Yudis menatap layar ponselnya lama. Lalu ia balas singkat:
Wa’alaikumussalam, Bu.
Sampaikan salam dan doa terbaik saya.
Insya Allah saya akan tetap menunggu. Tapi bukan sambil diam. Saya akan terus memantaskan diri.
Dialog di Masjid Suleymaniye
Malam itu, Yudis bertemu Iskandar di Masjid Suleymaniye. Mereka duduk bersisian setelah shalat isya.
“Saya mulai lelah, Kanda,” ujar Yudis. “Bukan karena menunggu Samiya. Tapi karena aku sendiri harus terus menjelaskan ke semua orang… bahwa aku bukan menolak yang datang. Saya hanya belum sampai pada kepantasan diri.”
Iskandar menepuk bahunya.
“Kanda, dalam dunia yang serba cepat ini…
Menjadi laki-laki yang sabar dan setia menunggu bukan kelemahan.
Itu keistimewaan yang jarang ditemui.”
Dan malam itu, Yudis membuat keputusan:
Ia akan tetap membuka hati, tapi tidak memaksa.
Ia akan tetap menjalani hidup, tapi tidak melepas.
Karena bagi Yudis, cinta bukan tentang siapa yang mendekat…
Tapi siapa yang tetap bertahan dalam doa saat semua jarak terasa jauh.