RASIONALIS.COM – Masyarakat masih dirundung kegelisahan atas kematian Arya Daru Pangayunan (ADP), yang ditemukan tak bernyawa di kamar kosnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa pagi, 8 Juli 2025. Lebih dari sepekan berlalu, namun penyebab kematiannya masih menjadi misteri.
Kepolisian telah melakukan lebih dari tiga kali olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), namun belum menemukan bukti kuat yang dapat mengungkap penyebab kematian. Autopsi telah dilakukan tim forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), namun hasilnya belum dipublikasikan secara jelas.
Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto, sebelumnya menyatakan target penyelesaian penyelidikan dalam waktu sepekan. Namun, hingga kini, penyelidikan masih berjalan. “Mungkin seminggu lagi selesai, nanti ada kesimpulan,” ujarnya pada 11 Juli 2025.
Penyelidikan kasus ini merujuk pada Pasal 133 ayat (1) KUHAP, yang memberi wewenang kepada penyidik untuk meminta keterangan dari ahli dalam menangani kasus kematian yang diduga akibat tindak pidana.
Dalam telaah yang dilakukan oleh Firman Wijaya, salah satu peneliti dari Tim Riset Komunitas Debat dan Riset Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, disebutkan bahwa pendekatan Scientific Crime Investigation (SCI) sangat krusial untuk menyingkap fakta secara objektif. “Pengungkapan kasus pidana tidak bisa dilakukan hanya dengan satu pendekatan keilmuan, tetapi harus kolaboratif,” terangnya, mengutip kajian tim.
Sementara itu, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengungkap bahwa ADP diduga meninggal karena asfiksia. Namun, penyebab pasti dari kondisi itu apakah karena zat tertentu, tindakan orang lain, atau alasan alami masih belum jelas dan harus dijawab untuk menentukan arah hukum kasus ini.
Pakar digital forensik, Abimanyu Wachjoewidajat, mencurigai adanya tamu misterius yang sempat berada di kamar ADP sebelum kejadian. Rekaman CCTV dan aktivitas digital menjadi komponen penting yang sedang dianalisis oleh penyidik.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa semua bukti, baik dari autopsi maupun laboratorium forensik, harus dikumpulkan sebelum bisa menarik kesimpulan. “Apakah peristiwa pidana atau bukan, itu nanti akan disimpulkan dari semua hasil pemeriksaan,” ujarnya pada 17 Juli 2025.
Komisioner Kompolnas, Chairul Anam, turut menguatkan bahwa informasi dari pihak keluarga ADP sangat membantu merangkai potongan peristiwa sebelum kejadian. Sayangnya, ketertutupan informasi dari aparat menimbulkan keresahan publik.
Desakan transparansi datang dari Komisi I DPR RI. Anggota DPR, Sarifah Ainun Jariyah, menekankan pentingnya update berkala kepada masyarakat untuk mencegah disinformasi dan spekulasi liar. Komisi III DPR RI juga menyoroti perlunya keterbukaan informasi publik sebagai wujud tanggung jawab institusi negara.
Kematian ADP menjadi simbol dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum. Banyak yang merasa bahwa suara kebenaran berisiko dibungkam, dan bahwa integritas bisa jadi tidak cukup untuk bertahan dalam sistem yang tak mendukung keberanian moral.
Fenomena ini, menurut pengamatan Firman Wijaya, bukan hanya kasus tunggal, melainkan cerminan ketakutan kolektif generasi muda profesional yang semakin enggan menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan di tempat kerja karena takut akan ancaman terhadap karier, keselamatan, bahkan nyawa.