Penulis: Sarlin WagolaKabid. PKP Hima Persis DKI Jakarta
RASIONALIS.COM – Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025, muncul fenomena unik sekaligus mengundang kontroversi: seruan pengibaran bendera bergambar tengkorak bertopi jerami—simbol dari anime Jepang One Piece. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini bentuk kritik terhadap pemerintah, atau cerminan lunturnya nasionalisme generasi hari ini?
Momentum 17 Agustus semestinya menjadi perenungan atas jasa para pahlawan, bukan sekadar seremoni. Pengibaran bendera Merah Putih di rumah-rumah, jalan-jalan, hingga pelosok negeri merupakan tradisi yang mencerminkan kebanggaan dan rasa hormat atas kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Namun, tahun ini terasa berbeda. Alih-alih Merah Putih, sejumlah kalangan justru mengibarkan bendera bajak laut One Piece sebagai bentuk simbolik atas ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan ekonomi bangsa. Mereka menilai pemerintah belum mampu menyelesaikan persoalan kesenjangan dan ketidakadilan sosial
Simbol Jolly Roger dalam anime One Piece merujuk pada semangat perlawanan terhadap ketidakadilan. Karakter Luffy dan kru Topi Jerami dikenal menjunjung nilai-nilai persahabatan, petualangan, dan perjuangan melawan tirani. Dalam konteks ini, pengibaran bendera tersebut bisa dimaknai sebagai mosi tidak percaya terhadap penguasa.
Namun, benarkah simbol fiksi asing layak dihadirkan pada momen sakral seperti Hari Kemerdekaan Indonesia? Atau justru ini menandakan adanya kekeliruan dalam memaknai esensi 17 Agustus itu sendiri?
Penulis memandang penting untuk memisahkan antara ruang kritik terhadap pemerintah dan penghormatan terhadap sejarah perjuangan bangsa. Hari Kemerdekaan bukan sekadar perayaan, melainkan momen kontemplatif yang tidak semestinya dibayang-bayangi oleh simbol asing, sebaik apa pun niat yang melatarinya.
Fenomena ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah negara turut andil dalam lunturnya rasa nasionalisme civic generasi muda saat ini? Apakah kita sedang menyaksikan pergeseran makna patriotisme?
Memang, tantangan zaman semakin kompleks. Ketidakstabilan global, konflik geopolitik, serta masifnya arus informasi di era disrupsi menyebabkan generasi muda mudah terpengaruh oleh budaya luar. Seperti pernah disampaikan Prof. Ichsanuddin Noorsy, disinformasi dan “post-truth” menciptakan kebingungan identitas di kalangan anak bangsa.
Sebagai perbandingan, Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam pengantar buku “Kita Belum Merdeka” karya Ichsanuddin Noorsy menyebutkan dua jenis elite bangsa: yang satu menjunjung tinggi kedaulatan nasional, yang lain terbuka terhadap neo-kolonialisme dalam bentuk baru. Dalam situasi ini, generasi muda harusnya menjadi pelanjut perjuangan, bukan penerus kekeliruan.
Mengutip Tan Malaka: “Merdeka 100%”. Artinya, perjuangan belum selesai jika nasionalisme kita masih mudah digoyahkan. Simbol-simbol negara seperti Merah Putih dan Garuda harus tetap menjadi satu-satunya lambang kedaulatan, tidak boleh disandingkan atau digantikan oleh simbol-simbol lain, meski bersifat fiksi.
Kritik terhadap penguasa tetap penting dan sah, tetapi harus dilakukan dalam ruang yang tepat. Mengaburkan makna kemerdekaan dengan simbol asing, terutama di momen sakral, bisa menjadi kontraproduktif terhadap perjuangan itu sendiri.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengkritik diri sendiri, namun tetap menjunjung tinggi warisan sejarahnya. Seperti kata Bung Karno: “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai bangsa yang merdeka.”