RASIONALIS.COM – Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 resmi menaikkan manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi para pekerja yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kebijakan ini menjadi respons konkret terhadap tantangan ketenagakerjaan yang semakin kompleks di era otomatisasi dan digitalisasi, serta menjadi sinyal reformasi baru dalam sistem perlindungan sosial di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Kondisi pasar tenaga kerja Indonesia saat ini menghadapi tekanan hebat akibat kombinasi dampak pascapandemi dan transformasi teknologi yang cepat, yang secara perlahan menggantikan tenaga manusia dengan sistem otomatis. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di DKI Jakarta meningkat dari 6,03% pada Februari 2024 menjadi 6,18% pada Februari 2025. Angka ini menunjukkan adanya lonjakan pengangguran yang menuntut intervensi kebijakan yang tidak hanya reaktif, namun juga adaptif terhadap dinamika zaman.
Dalam PP terbaru ini, manfaat JKP dinaikkan menjadi 60% dari upah bulanan yang akan dibayarkan selama maksimal enam bulan. Ini merupakan peningkatan yang signifikan dibanding aturan sebelumnya dalam PP Nomor 37 Tahun 2021, yang hanya mengatur 45% upah selama tiga bulan pertama dan 25% untuk tiga bulan berikutnya. Dengan perpanjangan durasi dan kenaikan jumlah manfaat, kebijakan ini diharapkan mampu memberikan ruang pemulihan yang lebih luas bagi korban PHK baik untuk kembali ke dunia kerja maupun untuk memulai usaha mandiri.
Lebih dari sekadar bantuan finansial, kebijakan ini membawa semangat pemberdayaan. Paralegal Lembaga Bantuan Hukum Serikat Buruh Muslimin Indonesia (LBH Sarbumusi), Mohammad Abdul Jabbar, menyoroti bahwa kebijakan JKP ini mencerminkan prinsip “will to power” dari filsuf Friedrich Nietzsche yakni kehendak untuk bangkit dan memberdayakan diri dari keterpurukan. Negara, dalam hal ini, hadir tidak hanya untuk menolong tetapi juga untuk mendorong individu agar kembali menemukan potensi terbaiknya.
Meski demikian, tantangan implementasi tidak dapat diabaikan. Hingga kini, banyak pekerja sektor informal belum terdaftar dalam BPJS, sehingga tidak dapat menikmati manfaat JKP. Hambatan lain seperti minimnya sosialisasi, prosedur pencairan yang lambat, serta keterbatasan akses terhadap pelatihan keterampilan, juga masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Oleh sebab itu, Mohammad Abdul Jabbar menekankan perlunya beberapa langkah penguatan strategis: memperluas cakupan peserta, mempercepat birokrasi pencairan, mengintegrasikan pelatihan keterampilan kerja, dan melakukan evaluasi program secara rutin dan inklusif.
PP Nomor 6 Tahun 2025 menjadi tonggak penting dalam reformasi kebijakan ketenagakerjaan. Pemerintah, melalui kebijakan ini, menunjukkan keberpihakan yang nyata kepada para pekerja yang terdampak perubahan ekonomi dan teknologi. Program JKP terbaru bukan hanya jaminan sosial, tetapi juga simbol harapan dan dorongan untuk bangkit bagi setiap pekerja Indonesia.
Jika dijalankan dengan baik, kebijakan ini tidak hanya memperkuat fondasi perlindungan sosial nasional, tetapi juga menjadi penopang penting dalam menjaga stabilitas ekonomi, keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat di tengah gelombang transformasi global yang tak terelakkan.