Oleh : Ravyansah
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Pegiat Politik dan Kebijakan Pendidikan
RASIONALIS.COM – Pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2024 menjadi panggung krusial dalam lanskap politik lokal Indonesia. Salah satu sorotan utama tertuju pada kontestasi pilkada DKI Jakarta yang tidak hanya strategis secara geografis dan simbolik, akan tetapi juga merepresentasikan dinamika politik nasional dalam versi miniatur.
Meski polemik seputar batas usia calon sempat mewarnai ruang publik yang dipertegas Mahkamah Konstitusi bahwa usia minimal 30 tahun dihitung sebelum penetapan calon, adapun juga yang lebih substantif justru terletak pada bagaimana koalisi partai politik bekerja, serra apa makna ideologi di dalamnya.
Adapun Provinsi DKI Jakarta dengan lebih dari 8,2 juta pemilih yang mensyaratkan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 7,5% dari suara sah dalam pemilu legislatif provinsi terakhir, sesuai Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2024. Aturan ini membuka ruang bagi partai atau gabungan partai yang berhasil memenuhi ambang batas tersebut untuk mengusung calon kepala daerah.
Salah satu koalisi besar yang muncul di ibukota adalah Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM PLUS) yang telah mendeklarasikan dukungan bagi pasangan Ridwan Kamil–Suswono. Koalisi ini terdiri dari sedikitnya 12 partai politik, termasuk Partai Gerindra, Golkar, PKS, PAN, NasDem, Demokrat, hingga PSI dan PBB yang menjadikannya kekuatan elektoral super gemuk. namun pertanyaannya yaitu apakah koalisi ini benar-benar dilandasi oleh kesamaan ideologi?
Koalisi Gemuk, Bias Ideologi Partai Politik
Dalam kacamata awam, beragamnya partai pendukung KIM PLUS mungkin dilihat sebagai bentuk demokrasi inklusif. Namun secara analitis bahwa komposisi tersebut yang mencerminkan melemahnya peran ideologi dalam konfigurasi politik elektoral.
Partai-partai di dalam koalisi membawa identitas yang beragam: Gerindra dengan nasionalisme populis, Golkar sebagai pewaris teknokrasi Orde Baru, PAN sebagai partai Islam modernis, PSI dengan narasi progresif milenial. Tapi perbedaan itu tampak larut dalam kalkulasi pragmatis semata: siapa berpotensi menang, siapa bisa mengakses sumber daya.
Fenomena tersebut yang sejalan dengan konsep “kartelisasi partai” sebagaimana dijelaskan oleh Kuskridho Ambardi (2009) dalam Mengungkap Politik Kartel, Ambardi menguraikan lima ciri utama kartelisasi partai: hilangnya peran ideologi, mudahnya koalisi lintas partai terbentuk, tiadanya oposisi permanen, pengabaian hasil pemilu sebagai basis pembentukan kekuasaan, serta dominasi elite partai dalam pengambilan keputusan politik.
Dari Representasi Rakyat ke Konsolidasi Elite
Lebih lanjut, Dan Slater (2018) menambahkan bahwa kartelisasi partai di Indonesia mempunyai ciri atau karakteristik yang khas bukan karena dominasi partai tunggal sebagaimana dalam sistem otoriter, melainkan karena kecenderungan presiden (atau elite nasional) untuk melakukan power-sharing dengan seluruh partai besar. Tujuannya jelas untuk menjinakkan oposisi dan memastikan stabilitas kekuasaan.
Di tingkat lokal, terutama di DKI Jakarta, bahwa dari KIM PLUS yang bukanlah koalisi ideologis, melainkan koalisi distributor kekuasaan pilkada di DKI Jakarta pun bukan karena pertarungan gagasan, melainkan ajang konsolidasi kekuatan elite nasional yang dibungkus dalam formalitas pemilihan langsung.
Alih-alih menawarkan platform kebijakan yang berbeda, koalisi seperti ini menjelma menjadi pasar elite yang di mana tiket kekuasaan dinegosiasikan secara tertutup. Hal ini yang hilang dari situ adalah oposisi yang kuat serta partisipasi politik yang bermakna dari publik.
Pilkada: Arena Politik atau Sirkulasi Elite?
Studi kasus KIM PLUS di pilkada DKI Jakarta 2024 menegaskan satu hal penting bias ideologis bukan hanya soal partai yang inkonsisten, akan tetapi mencerminkan transformasi sistemik politik Indonesia pasca-Reformasi. Partai-partai tidak lagi menjadi kanal aspirasi ideologis masyarakat, namun akan menjadi aktor rasional yang mengutamakan kelanggengan kekuasaan melalui aliansi pragmatis.
Pilkada yang seharusnya menjadi mekanisme perbaikan tata kelola pemerintahan lokal serta yang untuk desentralisasi kebijakan, justru berpotensi menjadi ajang sirkulasi elite yang tertutup. Ketika semua partai besar bergabung dalam satu gerbong kekuasaan, ruang kritik melemah, dan hubungan akuntabilitas vertikal antara rakyat dan pemimpin menjadi tumpul.
Hal tersebut merupakan suatu tantangan serius bagi demokrasi lokal yakni bagaimana menjamin bahwa pilkada bukan sekadar seremoni, akan tetapi betul-betul membuka ruang untuk alternatif kekuasaan serta representasi politik yang autentik.
Penutup: Apa yang Bisa Dilakukan?
Membaca pada pilkada DKI Jakarta 2024 lewat kacamata bias ideologi dan kartelisasi partai merupakan upaya penting untuk membuka kesadaran politik publik. Tantangan ke depan adalah menguatkan kembali partai sebagai aktor ideologis, memperkuat oposisi sebagai mekanisme kontrol kekuasaan, serta membangun kembali kepercayaan bahwa politik merupakan ruang perjuangan gagasan, tidak hanya sekadar arena tukar-menukar kekuasaan antar elite.
Dengan demikian, ini menyebabkan dari sisi demokrasi akan terus tersandera oleh pragmatisme elite dengan diselimuti simbol-simbol populis serta slogan-slogan perubahan yang hampa isi nya.